bongkah.id – Nasib Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di ujung tanduk. UU yang disahkan DPR RI dalam Rapat Paripurna pada 5 Oktober itu, berpeluang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Peluang itu akan terjadi, jika pemohon uji materi berhasil membuktikan terjadinya cacat formal dalam UU tersebut.
Peluang adanya cacat formal terjadi pada UU sapu jagat itu, karena pasca pengesahan UU tersebut oleh DPR RI muncul lima versi draf final. Peluang terjadinya cacat formal itu terproyeksi dari perbedaan jumlah halaman lima versi draf. Yakni versi draf 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, 1.035 halaman, dan yang versi 812 halaman yang diserahkan pada Presiden Jokowi. Ironisnya pada lima versi draf UU Cipta Kerja yang telah beredar di publik tersebut, ada perubahan frasa hingga penambahan ayat.
Draf UU Cipta Kerja yang pertama beredar setebal 1.028 halaman. Draf yang beredar sebelum 5 Oktober ini muncul di situs resmi DPR RI. Nama file ‘BALEG-RJ-20200605-100224-2372.pdf’, yang sebelumnya dapat diunduh di link http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200605-100224-2372.pdf. Dan, saat ini tidak bisa lagi diunduh.
Draf versi kedua yang beredar selanjutnya berjumlah 905 halaman. Draf dengan nama file ‘5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna.pdf’ ini beredar di aplikasi tukar pesan WhatsApp sebelum rapat paripurna 5 Oktober 2020. Sampai saat ini masih bisa diunduh di link https://mmc.tirto.id/doc/2020/10/06/UU_Cipta_kerja_FINAL_Paripurna.pdf).
Draf versi ketiga yang beredar di publik tertanggal 9 Oktober. Nama filenya ‘9 OKT 2020 RUU CIPTA KERJA bersih pukul 8.32.pdf’. Jumlah halaman di draf ini lebih banyak. Yakni 1.052 halaman. Selanjutnya, pada 12 Oktober beredar draf keempat. Draf ini berjumlah 1.035 halaman. Filenya bernama ‘RUU CIPTA KERJA – KIRIM KE PRESIDEN.pdf‘. Draf versi kelima atau draf yang diserahkan pada Jokowi lewat Kementerian Sekretaris Negara pada Rabu (14/10/2020). Draft ini berjumlah 802 halaman. Yang dapat diunduh di link https://drive.google.com/file/d/1l2Gb7xlI9ldrP6IDmLv5Xal4Rv-D1zBN/view.
Dalam wawancara dengan wartawan senior Karni Ilyas channel YouTubenya KARNI ILYAS CLUB yang berjudul ‘SEKARANG ANDA BOHONG BESOK DIBONGKAR ORANG’ PROF MAHFUD MD itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, jumlah versi draf UU Cipta Kerja yang diterimanya lebih banyak dari yang beredar di publik. Dia menerima enam versi draf. Sebanyak 4 versi diantaranya datang dari eksekutif. Yang kesemua versi itu tersusun rapi di atas meja kerja rumah dinasnya.
“RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat tebal, karena menampung 900 sekian pasal. Saat beredar di publik, RUU itu diprotes. Akibatnya jumlah halamannya menebal, karena ada beberapa penyempurnaan pasal dan ayat. Revisi itu kembali diprotes masyarakat. Yang membuat halamannya kembali berubah. RUU yang versi eksekutif saja banyak perubahan sampai ada empat versi, sebelum masuk ke DPR,” katanya sembari memainkan kedua tangannya, untuk menunjukkan perubahan tebal tipisnya RUU saat mengalami perubahan.
BERPOTENSI DIBATALKAN
Sementara saat RUU itu masuk ke DPR, dikatakan, mengalami beberapa perubahan. Diantaranya perubahan pada pasal 170. Juga beberapa pasal lainnya. Perubahan itu terus terjadi. Dari semua perubahan yang dilakukan itu, ada sebuah pertanyaan serius yang wajib dijawab DPR. Yaitu saat palu diketok dalam Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober itu, apakah perubahan sudah final atau sekadar teknik untuk pengesahan UU Cipta Kerja.
“Yang saya dengar, saat diketok itu sudah perubahan final. Jumlah halamannya 1.035 lembar. Draf tersebut ditulis dengan font besar. Saat font hurufnya diperkecil, maka jumlah halaman draf finalnya menjadi 812 lembar,” ujarnya.
Kebenaran kabar yang disampaikan DPR itu, menurut dia, dapat dibuktikan masyarakat yang ingin melakukan uji materi dan uji formal ke MK. Dengan mencocokan dokumen draf yang diketok. Draf yang berjumlah 1.035 halaman, dengan draf yang berjumlah 812 halaman yang diserahkan pada pemerintah lewat Kementerian Sekretaris Negara pada 14 Oktober. Hasil perbandingan pasal per pasal itu kedua draf tersebut harus sama. Tidak boleh ada perubahan.
“Jika ditemukan sebuah perbedaan pasal dari isi atau maknanya, maka UU Cipta Kerja itu terbukti cacat formal. Dengan status itu, MK berhak untuk membatalkan. Pada jaman saya menjadi Ketua MK, kami anggota MK membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) hanya dengan menguji tiga pasal saja. Kondisi sama juga dilakukan MK yang dipimpin Pak Jimly Asshiddiqie terhadap UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada tahun 2006,” katanya.
Sebagai informasi, MK yang dipimpin Mahfud MD membatalkan Undang-Undang (UU) RI No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disahkan DPR RI pada akhir 2008. UU BHP itu dibatalkan pada Rabu (31/03/2010). Proses persidangannya di MK sangat panjang. MK secara bulat menyatakan, UU BHP inkonstitusional. Seluruh materi UU ini otomatis ‘batal’ dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dasar hukum pembatalan tersebut, MK menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya UU BHP itu misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia, akan dilaksanakan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD). Padahal UUD 1945 memberikan ketentuan, bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara.
Sementara pembatalan UU KKR oleh MK yang dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie terekam dalam surat putusan MK Nomor 006/PUUIV/2006. Menurut putusan tersebut, pembatalan UU KKR dilakukan berdasarkan hasil uji materi terhadap sejumlah pasal yang termuat dalam produk legislasi tersebut.
Uji materi UU KKR dilayangkan pada 28 Maret 2006 oleh delapan orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Imparsial, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, dan korban penculikan aktivis serta korban peristiwa 65.
Mereka minta MK untuk menguji materi UU KKR terutama Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44. Yang menurut mereka bertentangan dengan prinsip HAM universal. Pada Pasal 1 Ayat 9, misalnya. UU itu dimungkinkan pelaku pelanggaran HAM berat memperoleh amnesti dari presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bunyi Pasal 1 Ayat 9 “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 27 yang berbunyi “kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”. Menurut Pasal 19, Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Huruf b, bertugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 16 Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri atas: a. subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; dan c. subkomisi pertimbangan amnesti.
Ada pun Pasal 44 UU KKR menyebutkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad hoc. Hasil gugatan materi pun tidak sekadar merevisi pasal demi pasal. Bahkan MK ketika itu membatalkan seluruh bagian materi UU KKR.
Belajar dari pembatalan UU KKR dan UU BHP oleh MK tersebut, maka Mahfud MD sebagai Menko Polhukam meminta DPR RI untuk menjelaskan kepada publik terkait kemunculan banyak versi UU Ciptaker pasca disahkan dua pekan lalu. “Memang yang agak serius bagi saya, yang harus dijawab DPR itu sesudah palu diketok itu, apa benar sudah berubah atau hanya soal teknis,” katanya.
Selain itu, DPR diharapkan harus berani bersikap kesatria. Menunjukkan draf UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober. Draf dokumen yang asli yang berjumlah 1.035 halaman. Untuk dilihat masyarakat dan digunakan untuk bahan perbandingan, dengan draf yang diserahkan ke pemerintah yang berjumlah 812 halaman.
“DPR itu kan wakil rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat lewat Pemilu Legislatif setiap lima tahun sekali, saya yakin para anggota DPR itu berani jujur dengan masyarakat. Memberikan draf asi UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober. Untuk diperbandingkan dengan draf yang diserahkan pada pemerintah. Jika DPR berani jujur, saya yakin rakyat akan merasa dihargai. Rakyat akan memilih uji materi ke MK dibanding unjuk rasa,” katanya dalam keterangan resminya yang diterima. (rim)