by Rachmat Abd. Faqih/bongkah.id
DIANTARA para sahabat Nabi Muhammad Saw, Sayyidina Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma merupakan salah satu sahabat yang berpengetahuan luas. Pun cerdas. Selain sebagai sahabat, pria yang nantinya menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah itu adalah sepupu Rasulullah dari garis ayah, Abdullah bin Abdul Muthalib. Juga sepupu dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra, anak dari Abu Thalib bin Abdul Muthalib.
Abdullah bin Abbas adalah anak dari keluarga yang kaya dari perdagangan. Abbas bin Abdul Muththalib nama ayahnya. Karena itu, Abdullah bin Abbas dipanggil Ibnu Abbas ra, anak dari Abbas. Ibu dari Ibnu Abbas adalah Ummu al-Fadl Lubaba. Dia wanita kedua yang masuk Islam. Dia sahabat dari Sayidah Khadijah binti Khuwailid. Istri Sang Nabi yang juga wanita pertama yang memeluk agama Islam.
Nama Ibnu Abbas (ابن عباس) juga digunakan untuk membedakannya dari Abdullah yang lain. Ayah dari Ibnu Abbas, ayah dari Nabi Muhammad Saw, dan ayah dari Ali bin Abi Thalib adalah anak dari Syaibah bin Hâsyim. Lebih dikenal dengan nama panggilan Abdul Muththalib. Ayah Abdul Muththalib adalah Hasyim bin Abdulmanaf. Penerus dari Bani Hasyim. Sebuah klan dari Suku Quraisy yang terkenal di Mekkah. Ibnu Abbas juga memiliki seorang saudara bernama Fadl bin Abbas
Ibnu Abbas adalah seorang mufassir Alquran yang paling terkenal pada abad pertama Hijriah. Terdapat banyak riwayat darinya yang ada di kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab hadits. Di sebagian hadits dijelaskan, bahwa Nabi Muhammad Saw, selain mendoakan Ibnu Abbas juga memohon kepada Allah agar memberikan ilmu takwil Alquran kepadanya.
Menurut riwayat yang ada, Ibnu Abbas menukil 1.660 hadits. Dari jumlah itu, Bukhari menukil 120 hadits darinya dan Muslim 9 hadits. Ibnu Abbas meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad saw, Imam Ali as, Umar, Mu’adz bin Jabbal dan Abu Dzar. Sebagian besar riwayat yang terkait dengan perkiraan kekhalifahan Bani Abbas disandarkan kepadanya.
Salah satu peristiwa yang disaksikan Ibnu Abbas saat berusia 15 tahun. Tiga hari setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw, adalah menyaksikan kedatangan seorang pendeta Yahudi dari Kota Syam (Syiria). Orang pertama yang ditemui Pendeta Yahudi itu saat tiba di Kota Madinah, adalah Sahabat Salman al Farisi. Sosok Salman yang berwajah tampan, dan mirip profil fisik Rasulullah yang diperolehnya dalam Taurat, ia bertanya, “Wahai pria rupawan, apakah engkau Muhammad?”
Mendengar pertanyaan itu, Salman tidak segera menjawab. Ia diam. Sesaat kemudian, ia menangis. Pemandangan itu membuat Pendeta Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman menjawab, “Bukanlah wahai tamu Madinah. Saya hanya pesuruhnya!”
“Lalu dimanakah Muhammad? Aku ingin bertemu dia. Pertemukan aku dengan Muhammad, sehingga perjalananku selama 30 hari dari Syam tidak sia-sia,” kata Pendeta Yahudi itu kembali.
Salman berfikir cepat. Jika berkata jujur, bahwa Nabi Muhammad Saw telah wafat pada tiga hari sebelumnya. Pun sudah dimakamkan sehari sebelumnya. Mungkin lelaki dihadapannya ini akan pulang dengan kecewa. Sebaliknya jika berkata masih hidup, maka ia telah melakukan kebohongan yang diharamkan Islam. Karena itu, Salman tidak menjawab pertanyaan. Ia justru mengajak Pendeta Yahudi itu bertemu dengan para sahabat.
Dengan langkah agak cepat, Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Masjid Nabawih. Tempat para sahabat biasa berkumpul. Berdiskusi tentang makna dari ayat-ayat Al-Quran. Tidak demikian yang terlihat saat Salman datang bersama Pendeta Yahudi itu. Para sahabat duduk diam. Raut wajah mereka mencerminkan sebuah kesedihan mendalam. Kehilangan sesuatu yang sangat dicintai. Selain Alloh SWT.
Saat tiba di pintu Masjid. Pendeta Yahudi itu secara tiba-tiba mengucapkan salam. Mendahului Salman yang akan mengucapkan salam. “Assalamu’alaika, Ya Muhammad!” kata Pendeta Yahudi itu dengan suara cukup keras.
Kalimat salam itu diteriakkan, karena ia mengira Sang Nabi ada di antara kumpulan para sahabat tersebut. Sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya. Beberapa lainnya makin sesenggukan. Atmosfer kesedihan pun makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, “Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu, bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?” (bersambung)