Oleh: Prima Sp Vardhana
KH Salahuddin Wahid telah berpulang pada Minggu (2/2/2020) malam. Ulama yang karib dipanggil Gus Sholah itu berpulang pada usia 77 tahun. Almarhum juga telah dimakamkan. Di pemakaman umum Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Posisinya bersebelahan dengan makam kakak yang paling dikasihi, almarhum KH Abdurachman Wahid (Gus Dur).
Rekam jejak yang ditorehkan sangat panjang dan beragam. Diantara yang paling menarik adalah ikatan persaudaraan yang cerdas antara Gus Sholah dan Gus Dur. Keduanya mampu menempatkan diri sebagai rekan debat yang panas dan kocak. Juga, mampu menempatkan diri sebagai saudara yang hangat dan saling mengasihi.
Karena itu, banyak pengamat menilai ikatan kedua Gus dari Bani Hasyim itu bak dua sisi mata uang logam. Mereka saling melengkapi. Mereka merupakan buku kehidupan bermasyarat yang cerdas buat Bangsa dan Negara Indonesia.
Terlibat dalam politik praktis tak pernah sekalipun memikat hatinya. Dia lebih tertarik pada dunia pendidikan. Sejak kecil sangat fokus dalam menggembleng diri dengan membaca beragam buku. Namun dunia pendidikan yang membetot hatinya bukan pendidikan keagaman sebagaimana saudaranya, anak ketiga dari enam bersaudara putra pasangan KH. Wahid Hasjim dan Hj. Sholehah ini lebih memilih pendidikan umum.
Karena itu, pada 1962 setamat SMA Negeri 1 Jakarta melanjutkan pendidikannya ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Pria bernama Salahuddin Wahid ini memilih jurusan arsitektur, meski sebenarnya sangat berminat masuk jurusan ekonomi atau hukum. Semasa kuliah di Bandung, ia aktif dalam kegiatan Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa.
Minatnya berorganisasi itu yang terasah sejak SMA dengan menjabat Wakil Ketua OSIS kian terasah dengan mulai aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sejak 1967. Dalam waktu nyaris bersamaan, di menjabat pengurus Komisariat PMII ITB dan Wakil Ketua PMII Cabang Bandung. Tak hanya itu, dia juga menjabat Dewan Pengurus Pendaki Gunung Wanadri.
Pada 1968, pria yang karib dipanggil Gus Sholah ini menikah dengan Farida, putri mantan Menteri Agama KH. Syaifudin Zuhri. Pernikahan ini cukup unik. Keduanya sama-sama anak mantan Menteri Agama.
Peristiwa ini jauh dari unsur kesengajaan, karena Gus Sholah saat mengenal Farida, ternyata tidak tahu calon mertuanya adalah mantan Menteri Agama seperti ayahnya. Dia baru tahu status mertuanya, saat datang melamar. Pernikahan tersebut dikaruniai tiga anak, yaitu Irfan Asy’ari Sudirman Wahid (Ipang Wahid), Iqbal Dorojatun Wahid (Billy Wahid), dan Arina Saraswati Wahid (Rina Wahid).
Setelah pernikahan, kuliah Gus Sholah sempat terhenti cukup lama. Beliau menekuti kariernya dibidang kontraktor, yang dijalani sejak kuliah. Pada 1970, ia mendirikan perusahaan kontraktor bersama dua orang kawan dan kakak iparnya, Hamid Baidawi. Perusahaan itu bertahan hingga 1977.
Selain itu, pernah bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH, menjadi Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997), Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia/Inkindo DKI (1989-1990), Sekretaris Jenderal DPP Inkindo (1991-1994), Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996), dan masih banyak yang lain. Singkatnya, sejak tahun 1970 hingga 1997, sebagian besar aktivitasnya fokus di bidang arsitektur dan konstruksi.
Dia kembali aktif kuliah di ITB pada 1977. Menyelesaikan studinya pada 1979. Setelah lulus kuliah, aktif di berbagai organisasi. Mulai dari organisasi profesi, organisasi masyarakat, dan organisasi bantuan hukum. Sedangkan kepopulerannya di masyarakat mulai mengkilap sebagai bagian dari trah keluarga pendiri NU, karena perseteruan sengitnya dengan sang kakak Gus Dur.
Pada tahun yang sama, Ia kian memanfaatkan waktunya untuk membaca buku sekaligus mulai menulis. Ini karena sejak 1993, telah menjadi Pimpinan Redaksi majalah Konsultan.
Sementara kegiatannya menulis opini banyak dimuat oleh harian Republika, Kompas, Suara Karya, dan beberapa media nasional serta lokal. Tulisannya banyak menyoroti berbagai persoalan yang sedang dihadapi umat dan bangsa.
Pemikiran dan gagasannya seringkali berbeda dengan Gus Dur, bahkan pernah berpolemik dengan Gus Dur tentang hubungan agama dan negara di harian Media Indonesia milik Surya Paloh. Hasil polemik tersebut dibukukan oleh Forum Nahdliyyin Untuk Kajian Strategis, Jakarta, dan diberi judul KH. A. Wahid Hasyim Dalam Pandangan Dua Putranya. Dialog antara GusDur-Mas Sholah Mengenai Pandangan Politik Keislaman Sang Ayah (1998).
Selain menulis di media massa, Gus Sholah juga banyak menulis buku. Karya-karyanya yang telah dibukukan, antara lain Negeri di Balik Kabut Sejarah (November 2001), Mendengar Suara Rakyat (September 2001), Menggagas Peran Politik NU (2002), Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia (Nopember 2003), Ikut Membangun Demokrasi, Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden (Nopember 2004).
Sejak pertengahan tahun 2007, Gus Sholah mengumpulkan naskah-naskah tulisannya yang pernah diterbitkan di berbagai media, untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Selain itu, pria kelahiran Jombang ini sering diminta memberikan pengantar pada buku-buku karya penulis lain.
Kemampuan menulis Gus Sholah tidak lepas dari kegemarannya membaca sejak usia muda. Kebiasaan itu terus dipertahankan hingga usia tua. Setiap ada waktu longgar, dia selalu menyempatkan diri membaca.
Kebiasaan ini semakin intens di bulan Ramadhan. Dalam satu bulan, sepuluh judul buku bisa habis dibacanya. Pengakuan Gus Sholah saat ditemui pada Ramadhan 2019, dia biasanya menyediakan waktu untuk membaca sebelum dan sesudah makan sahur, setelah Salat Shubuh, pagi hari, dan sore hari.
Karena itu, Gus Sholah sudah memakai kacamata sejak usia muda. Demikian pula, nasib semua saudaranya yang sejak kecil sudah berkaca mata, seperti tampak dalam foto buku Karangan Tersiar karya Abu Bakar Atjeh. (*)