bongkah.id – Penerbitan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bukan kemuskilan satu paket dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Dugaan itu terproyeksi dari proses pembuatan kedua undang-undang tersebut, yang modus operandinya sama. Disusun dalam waktu cepat, seakan ada yang memberikan dead line waktu. Pembahasannya dilakukan pada masa reses anggota DPR RI. Tidak melibatkan pihak-pihak terkait undang-undang tersebut. Pun disahkan menjadi undang-undang pada malam hari. Pun kedua UU tersebut sama-sama melahirkan kontroversi dan penolakan dari masyarakat.
Demikian dugaan yang disampaikan Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo dalam diskusi webinar membahas setahun UU KPKyang disiarkan secara daring, Sabtu (17/10/2020).
Menurut dia, kasus yang terjadi pada proses revisi UU KPK memiliki pola sama dengan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Selain itu, dia berpandangan bahwa sejumlah RUU yang disahkan oleh DPR dalam kurun waktu satu tahun terakhir, bak satu paket UU yang sengaja direncanakan, termasuk UU Omnibus Law yang baru-baru ini disahkan DPR dan mendapat penolakan keras publik.
“Karena itu, saya melihat revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja ini merupakan satu paket. UU KPK, undang-undang yang lain termasuk Omnibus Law ini, mungkin kita perlu memikirkan memang, jadi gerakan anti-korupsi kita ke depan itu seperti apa,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, Agus mengungkapkan beberapa kejanggalan di masa penyusunan revisi undang-undang KPK. Salah satunya, pimpinan KPK sulit menemui Presiden Joko Widodo kala itu. Padahal kesempatan bertemu Jokowi pada hari-hari biasanya untuk berkonsultasi relatif mudah. Namun, kala itu, pimpinan di lembaga antirasuah sama sekali tak diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan kepada orang nomor satu di Indonesia itu.
“Biasanya kalau ada sesuatu masalah, kalau kita mau konsultasi dengan Pak Jokowi pada waktu itu relatif mudah. Tapi pada waktu penyusunan revisi UU KPK, sama sekali tidak ada kesempatan bertemu. Tidak benar jika ada yang ngomong, revisi UU KPK itu juga bersumber dari masukan pimpinan KPK saat itu,” kata Agus dengan tersenyum sinis.
“Kelihatannya pada waktu itu kita betul-betul dihadang sebuah tembok besar yang kuat, sepertinya kita memang tidak diperlukan untuk memberi kontribusi pada waktu penyusunan revisi UU KPK itu. Jadi itulah kejadiannya, Bapak Ibu,” tambahnya.
Walhasil, Agus mengaku selama tiga belas hari penyusunan, pihaknya sama sekali tak mengetahui isi naskah UU KPK Nomor 19 tahun 2019 yang tengah disusun. Kondisi itu dialami sampai memasuki hari terakhir sebelum dibawa ke rapat pleno DPR RI.
Agus mengaku, dirinya sempat dipaksa Komisioner KPK Laode M. Syarif untuk menemui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly di kantornya. Kedatangan Agus ingin meminta naskah UU tersebut. Namun, usaha Agus lagi-lagi menemui jalan buntu. Dia tidak mendapatkan naskah revisi UU KPK itu sebelum disahkan DPR RI. Bahkan, hingga beberapa hari setelah RUU KPK itu disahkan, diakui tetap belum mengetahui versi resmi UU KPK baru tersebut.
“Berhari-hari kita juga enggak tahu, versi yang resmi itu yang mana. Karena yang beredar di media ini kan kita juga enggak tahu, sebetulnya versi ini yang benar apa tidak kita enggak tahu,” katanya.
Sementara itu, di sisi lain, Agus mengungkapkan, menjelang masa penyusunan UU KPK diumumkan, lembaga antirasuah turut menerima banyak tudingan miring dari publik. KPK kerap disebut sebagai sarang Taliban. Walhasil, menurut dia, situasi itu membuat kepercayaan publik terhadap KPK semakin melemah. Memunculkan pertanyaan di tengah publik untuk membela KPK.
“Jadi pandangan negatif terhadap KPK kemudian digemborkan terus menerus, sehingga orang kemudian jadi berpikir ini KPK masih bisa dibelain atau enggak,” ujarnya.
Karena itu, tidak dipungkiri, bahwa dirinya saat ini hanya berharap ke Mahkamah Konstitusi terkait proses uji materi UU KPK baru, yang dalam waktu dekat akan memasuki sidang putusan. Di sisi lain, ia menilai publik juga harus memikirkan cara dan strategi lain untuk kembali membentuk gerakan anti-korupsi di Indonesia. “Strategi apa yang akan kita tentukan bersama untuk kemudian gerakan antikorupsi ke depan betul-betul bisa lebih bermakna dan tetap kuat, walaupun sekarang ragu-ragu,” ujarnya.
DEMOKRASI CUKONG
Sebelumnya dalam diskusi webinar yang digelar LHKP Muhammadiyah secara daring, Rabu (30/9/2020), Mantan Ketua KPK periode 2010-2011 Busyro Muqoddas menilai KPK pada periode kepemimpinan Firli Bahuri ini berhasil dimutilasi secara tuntas oleh pemerintah. Pelbagai kewenangan KPK selepas revisi UU KPK.
Penilaian itu disampaikan saat membandingkan pelbagai temuan data terkait fenomena penyimpangan dukungan para cukong dalam gelaran pilkada, yang pernah disusun KPK saat masa kepemimpinannya dahulu.
KPK periode 2019-2023, dipastikan, tak akan mampu menemukan pelbagai data terkait penyimpangan dalam Pilkada 2020. Sebab KPK saat ini sudah tak bertaji seperti dulu lagi.
“Data yang diumumkan Firli Bahuri itu data KPK masa lalu. Bukan masa sekarang yang berhasil dimutilasi secara tuntas oleh pemerintah,” katanya.
Praktik cukong, dipaparkan, selalu mewarnai tiap penyelenggaraan pilkada di tingkat lokal maupun pemilu nasional yang telah berlangsung di Indonesia. Para cukong itu menjadi ‘sponsor’ para kandidat pejabat di level pusat dan daerah untuk memenangkan pemilu.
“Ada pemahaman pentingnya cukong-cukong itu. Sehingga yang lalu bisa kami artikan sesungguhnya yang terjadi, adalah Demokrasi Para Cukong. Bukan demokrasi Rakyat,” ujarnya.
Busyro lantas menjelaskan data yang ditemukan KPK periode sebelumnya, yang menunjukkan para cukong meminta konsesi terhadap para calon yang berhasil memenangkan pemilu. Salah satunya melalui alokasi APBN maupun APBD, untuk mendapatkan proyek atau konsesi lainnya.
“Para cukong meminta pejabat pusat dan daerah untuk merancang ulang APBN dan APBD. Perancangan ulang anggaran bertujuan demi kepentingan bisnis para cukong itu,” katanya.
Busyro menegaskan, Indonesia kini menerapkan demokrasi transaksional. Situasi tersebut menimbulkan pelbagai ekses negatif, yang salah satunya pelumpuhan sistemik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Busro juga menyoroti revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang pembahasannya sangat singkat. Pun jauh dari transparansi bagi publik. Revisi UU tersebut di DPR RI hanya memakan waktu 7 hari pembahasan. Hasil revisi UU tersebut membuat hakim MK bisa bekerja terus hingga usia 70 tahun.
“Ketika MK sedang memeriksa perkara-perkara sensitif, ini yang revisi UU MK ini produk bersama pemerintah dan parpol-parpol,” katanya.
Demikian pula, penegakan hukum di Indonesia yang saat ini stagnan. Banyak kasus mega skandal korupsi yang penyidikannya mandek sampai saat ini. Misalnya, Skandal BLBI, Century, Hambalang, Teluk Jakarta, Papa Minta Saham, Djoko Tjandra, skandal politik yang melibatkan mantan pimpinan KPU, dan misteri Harun Masiku dari parpol berkuasa. (rim)