bongkah.id – Pasangan calon (Paslon) peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 pelanggar protokol Covid-19, secara hukum tidak bisa didiskualifikasi. Ini karena tidak aturan yang dapat digunakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memberikan sanksi diskualifikasi itu. Pasalnya sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait penerapan protokol Covid-19 di Pilkada Serentak 2020. Sedangkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 hanya mengatur pergeseran waktu Pilkada.
“Bawaslu saat ini serba salah. Ada paslon melanggar protokol Covid-19, tidak bisa memberi sanksi. Namun jadi kambing hitam polemik. Dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya. Menghukum paslon yang melanggar protokol Covid-19,” kata anggota Bawaslu Rahmat Bagja dalam webinar, Kamis (17/9/2020).
Menurut dia, Bawaslu secara hukum ingin sangat gemas dan ingin memberi sanksi paslon yang melakukan pelanggaran protokol Covid-19 saat pendaftaran di KPU Daerah, 4-6 September. Secara kasat mata sebanyak 316 bapaslon di 243 daerah melakukan pelanggaran protokol Covid-19 saat mendaftar. Mereka melanggaran larangan membawa massa atau arak-arakan. Secara faktual akan sulit menerapkat jaga jarak, sebagai bagian dari protokol Covid-19.
Ironisnya Bawaslu, diakui, tidak bisa memberi sanksi pada para paslon tersebut. Bawaslu hanya bisa memberi rekomendasi sanksi pidana pada kepolisian. Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk mengingatkan bapaslon yang melakukan pelanggaran tersebut. Semua kewajiban sesusai mitigasi ewenangan itu sudah dilakukan Bawaslu.
“Soal para paslon tidak mendapat sanksi pidana dari kepolisian, itu hak kepolisian. Demikian pula jika KPU tidak mengingatkan para paslon pelanggar Covid-19 tersebut. Yang penting wewenang Bawaslu untuk memberikan rekom atas pelanggaran Covid-19 itu sudah dilakukan,” ujarnya.
Tak dipungkiri Bagja, jika kewenangan Bawaslu dalam penerapan protokol Covid-19 dalam Pilkada 2020 ini sangat terbatas. Bawaslu mirip seekor singa tanpa taring. Ompong. Hanya bisa mengaum. Tanpa mampu menggingit mangsa. Bawaslu tak dapat menerapkan sanksi diskualifikasi yang digadang-gadang pemerintah, dijatuhkan buat paslon pelanggar protokol Covid-19.
“Bawaslu sampai kapanpun tidak bisa mendiskualifikasi paslon pelanggar protokol Covid-19. Aturan untuk melakukan diskualifikasi itu tidak ada. Jika diterbitkan Perppu yang mengatur sanksi diskualifikasi bagi paslon pelanggar protokol Covid-19, Bawaslu pasti akan melaksanakan. Siapa pun paslon yang melakukan pelanggaran akan diskualifikasi. Dibuat saja aturan bandingnya ke PTUN kemudian MA supaya ada asas keadilannya terpenuhi,” katanya.
Dalam UU No. 6 tahun 2020, diakui, Bawaslu hanya bisa mendiskualifikasi paslon, karena tiga alasan. Pertama, paslon terbukti melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Kedua, paslon petahana melakukan mutasi jabatan enam bulan sebelum pemilihan tanpa izin menteri. Yang terakhir atau ketiga, paslon petahana membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun daerah lain.
Sementara Kemendagri juga berusaha menerapkan sanksi, tapi terbatas pada bapaslon petahana. Sebanyak 72 bakal calon petahana hanya diganjar sanksi teguran keras. Tidak bisa dijatuhkan sanksi diskualifikasi. Pasalnya Kemendagri tidak memiliki payung hukum untuk melakukan sanksi diskualifikasi. Senansib dengan Bawaslu.
Usul diskualifikasi bagi peserta pilkada pernah disampaikan Wakil Ketua MPR fraksi PPP Jazilul Fawaid. Menurutnya, lebih baik ada sanksi diskualifikasi ketimbang pilkada ditunda.
“Kita tahu kendalanya, Covid-nya yang dihindari, bukan pilkada-nya ditunda. Kalau [pelanggaran] itu membahayakan, bisa itu [didiskualifikasi] dilakukan, tergantung kesepakatan aturan dibuat. Kalau saya, ditegasi saja. Saya setuju diskualifikasi jika terbukti membahayakan,” katanya di Kendari, Jumat (11/9). (rim)