Bongkah.id – Desakan aktivis HAM internasional agar Sheikha Latifa (35) kembali menguat. Ini menyusul kabar bahwa putri Syekh Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Sheikh Mohammed bin Rashid Al-Maktoum itu masih hidup setelah bertahun-tahun disekap ayahnya sendiri.
Kelompok HAM internasional, Human Rights Watch (HRW), meminta agar bukti yang menunjukkan Sheikha Latifa masih hidup dirilis ke publik. Putri penguasa Dubai itu baru-baru ini berhasil merilis video yang beredar ke publik yang memohon agar dirinya dibebaskan.
Dalam video yang dirilis media terkemuka Inggris, BBC, pekan ini, Latifa mengaku dirinya disekap oleh keluarganya sendiri di sebuah vila yang dijaga ketat dan dia merasa ketakutan. Putri Latifa Al Maktoum mengatakan para tentara membiusnya saat ia mencoba lari dengan kapal dan membawanya secara paksa kembali ke penyekapan.
Sejak itu pesan rahasianya terhenti. Rekan-rekannya mendesak PBB untuk campur tangan.
BBC melaporkan, video itu direkam kira-kira setahun yang lalu setelah Putri Latifa ditangkap dan kembali ke Dubai. Di rekaman itu sang putri meringkuk di pojok ruangan seperti kamar mandi.
“Saya seorang sandera dan vila ini diubah jadi penjara,” katanya dalam salah satu video dengan ponsel.
“Kami berharap untuk melihat adanya gerakan dan adanya komentar yang disampaikan,” ucap peneliti HRW untuk kawasan Teluk, Hiba Zayadin seperti dikutip dari AFP, Kamis (18/2/2021).
HRW juga mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan menangani indikasi pelanggaran HAM ini.
“Kami hanya berharap bahwa situasi itu diikuti oleh tindakan, bahwa PBB secara menyeluruh dan jelas menyerukan pembebasannya, tidak hanya meminta bukti dia masih hidup,” cetusnya.
“Agar dia diizinkan bepergian ke luar negeri di mana dia bisa berbicara dengan bebas dan di mana dia bisa menyuarakan dan bicara soal apa yang dia alami,” imbuh Zayadin.
Seruan serupa disampaikan Amnesty International yang menyebut video terbaru dari Sheikha Latifa itu ‘ngeri’. Amnesty mencemaskan keselamatan perempuan berusia 35 tahun itu mengingat teman-temannya mengatakan tidak bisa lagi berkomunikasi dengannya sejak beberapa bulan lalu.
“Sheikha Latifa mungkin ditahan di ‘sangkar emas’, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa perampasan kebebasannya dilakukan sewenang-wenang,” ujar Lynn Maalouf selaku Wakil Direktur Amnesty untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Keprihatinan juga disuarakan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab. Ia menyebut penahanan Sheikha oleh keluarganya sendiri merupakan tindakan yang menyedihkan dan menyatakan Pemerintah Inggris akan ikut mendesak PBB turun tangan.
Namun, pemerintah Inggris, masih menunggu dan melihat dulu hasil penyelidikan Komisi HAM PBB.
“Itu gambar yang sangat menyedihkan,” ujar Raab kepada Sky News dikutip dari AFP.
“Kami selalu membahas masalah HAM dengan semua mitra kami termasuk UEA,” lanjutnya seraya menambahkan akan mengawasi dan memantau penyelidikan PBB secara dekat.
Sheikha Latifa diketahui tidak pernah terlihat batang hidungnya di depan publik sejak menjadi sorotan lantaran berupaya kabur dari Dubai via laut tahun 2018 lalu. Kisah penangkapan dan penyekapan Latifa diungkap kepada Panorama oleh teman dekat Latifa, Tiina Jauhiainen, sepupu Marcus Essabri dan pegiat David Haigh, yang membentuk gerakan Free Latifa, atau Bebaskan Latifa.
Mereka mengatakan, mereka mengambil keputusan sulit untuk mengeluarkan pesan-pesan itu karena khawatir atas keselamatan Latifa. Mereka inilah yang dapat menjalin kontak dengan Latifa di tengah penyepakannya di vila di Dubai, dengan jendela berterali dan penjagaan polisi. Panorama secara independen memverifikasi rincian tempat Latifa disekap.
Latifa mencoba kabur dari penyekapan pertama kali pada usia 16 tahun setelah mengontak pengusaha Perancis Herve Jaubert pada 2011, dengan menyusun rencana pelarian. Ia dibantu oleh Jauhiainen, yang sebelumnya adalah instruktur capoeira, seni bela diri Brasil.
Kemudian pada 24 Februari 2018, Latifa dan Jauhiainen dengan kapal karet dan jet ski berupaya menuju ke perairan internasional, tempat Jaubert menunggu dengan kapal pesiar berbendera Amerika Serikat. Namun delapan hari kemudian, di lepas pantai India, kapal itu diserbu tentara.
Jauhiainen mengatakan, mereka menggunakan granat asap agar dia dan Latifa keluar dari tempat persembunyian di kamar mandi di dek bawah dan mereka ditodong dengan senjata. Latifa dibawa ke Dubai dan tak terdengar lagi nasibnya sejak itu sampai sekarang.
Jauhiainen dan awak kapal dibebaskan setelah dua minggu ditahan di Dubai. Pemerintah India tak pernah berkomentar apa peran mereka dalam insiden itu. Sebelum mencoba melarikan diri pada 2018, Latifa merekam video lain yang diunggah di YouTube setelah ia ditangkap.
“Bila Anda menonton video ini, bukan kabar baik, mungkin saya meninggal atau saya berada dalam kondisi yang sangat sangat sangat buruk,” katanya.
Video inilah yang memicu keprihatinan banyak pihak yang kemudian menyerukan agar ia dibebaskan. Uni Emirat Arab menghadapi tekanan besar untuk bertanggung jawab terhadap Latifa dan pertemuan dengan Robinson diselenggarakan setelah itu. (bid)