Selama masa pandemi Covid-19 sudah 15 dokter menjadi korban meninggal per 13 13 September 2020. Kondisi ini mendorong Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menerbitkan pedoman standar perlindungan dokter untuk pelayanan pasien Covid-19. Pedoman tersebut sebagai cara tidak bertambahnya kasus kematian dokter.
bongkah.id – Berdasarkan catatan IDI, risiko yang menyebabkan kasus kematian dokter selalu berulang. IDI menduga penyebabnya antara lain minimnya APD, kurangnya skrining pasien di fasilitas kesehatan, kelelahan para tenaga medis akibat ledakan jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah, jam kerja yang panjang, dan tekanan psikologis.
Untuk menekan jumlah kasus penularan Covid-19 dan kematian dokter ini, IDI membuat pedoman standar perlindungan dokter di era Covid-19.
“Ya, boleh dikatakan pedoman standar perlindungan petugas medis dalam menangani pandemi Covid itu kan belum ada. Kita sudah merancang dan menerbitkannya. Jadi itu bisa dikatakan yang pertama. Di tingkat global belum ada yang spesifik,” kata juru bicara IDI, Halik Malik.
Dalam pedoman itu, menurut dia, diatur mulai dari ketersediaan dan penggunaan APD dari tingkat fasilitas kesehatan pertama hingga lanjut, dari risiko rendah hingga sangat tinggi. Pembagian zonasi fasilitas kesehatan, skrining pasien, pemeriksaan tes covid-19 secara berkala bagi dokter, hingga jam kerja dokter yang tak boleh melewati 6-8 jam per hari. Pedoman ini untuk membuat tenaga kesehatan kewalahan, termasuk para dokter dalam menangani ledakan pasien Covid-19.
Hal ini disadari oleh IDI, sehingga untuk menjaga keberlanjutan pelayanan kesehatan dan penangan pandemik perlu diatur jam kerja untuk tenaga kesehatan.
“Menambah RS rujukan, merekrut relawan dokter, dan mengurangi jam kerja dokter selama masa pandemi adalah langkah yang harus ditempuh untuk menjaga imunitas dan stamina dokter agar tetap sehat dan bugar dalam bekerja,” ujarnya.
“Kalau tidak diatur dengan baik tenaga kesehatan berisiko mengalami burnout dan rentan terkena Covid-19 akibat beban berlebih pasien yang semakin hari semakin banyak,” ujarnya.
Ia berharap, pedoman ini dijadikan kebijakan oleh pemerintah dan diterapkan di seluruh fasilitas kesehatan.
Juru bicara Satgas pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito belum berkomentar banyak soal ini. “Tanya ke dokter praktek saja,” katanya melalui pesan singkat.
Sedengankan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) masih menunggu hasil pasti dari penyebab meninggalnya dokter yang terinfeksi Covid-19.
“Jadi mudah-mudahan dalam waktu dekat, kita bisa dapat tuh (hasilnya), kalau sudah dapat enak, pasti kan, beda-beda kondisinya. Jadi nggak berani saya menyimpulkan bahwa ini penyebabnya apa. Belum ada audit medis,” kata Sekretaris Jenderal PERSI, dr Lia G. Partakusuma seperti dilansir BBC, Senin (14/09).
Selain itu, PERSI sudah menyerukan kepada seluruh rumah sakit untuk siaga menyusul tingginya kasus kematian dokter. “Siaga tapi juga harus ngerti juga, milahnya (pasien) harus tahu persis, jangan sampai nanti nggak bisa milihnya, mana yang campur, mana yang menular mana yang tidak,” ujarnya.
Dikatakan, saat ini yang dibutuhkan rumah sakit adalah fasilitas pemeriksaan bagi pasien, mulai dari pemeriksaan melalui wawancara dengan dokter (anamnesis), hingga laboratorium.
“Harus benar-benar teliti. Itu yang harus dikerjakan,” kata Lia.
Sementara itu, virolog dari Universitas Udayana Bali, Prof I Gusti Ngurah Kadek Mahardika, mengingatkan kalangan dokter, dengan keberadaan pasien yang gejalanya bukan pada pernapasan.
“Virus ini kan menyerang ginjal, pencernaan juga, jadi tidak kelihatan dari gejala pernapasannya,” katanya. (ima/END)