bongkah.id – Pencabutan status Red Notice terhadap buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra, ternyata membuat Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin heran. Biasanya Red Notice yang dikirimkan ke National Central Bureau (NCB) Interpol (Organisasi Kepolisian Dunia) di Lyon, Perancis, itu bersifat tidak terbatas waktu. Secara otomatis akan diperpanjang. Masa aktif red notice itu berlaku sampai buronan yang dicari tertangkap Interpol. Atau ditemukan bukti fisik buronan, telah meninggal dunia.
“Hukum internasional mengatur Red Notice itu tidak ada cabut-mencabut. Selamanya tetap aktif sampai buronan tertangkap atau ditemukan bukti fisil telah meninggal dunia. Faktanya begitulah. Ada oknum yang mencabut red notice tersebut,” kata Burhanuddin kepada wartawan di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (15/7/2020)..
Menurut mantan Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDatun) dikepemimpinan Jaksa Agung Basrie Arief ini, pihaknya tidak pernah melakukan pencabutan Red Notice Djoko Sugiarto Tjandra. Ini terkait kejahatan merugikan negara. Sehingga semua personil lembaga hukum yang punya integritas, tidak akan melakukan tindakan bodoh yang menghianati seragam dan amanah hukum di Indonesia.
Karena itu, Kejaksaan Agung siap melakukan investigasi. Melacak oknum yang diduga bekerjasama dengan buronan, untuk mencabut Red Notice tersebut. Membuat buronan bebas beraktifitas, seperti warga sipil yang tidak melakukan kejahatan.
Dikatakan, pihaknya masih menelusuri terhapusnya nama DJoko Tjandra dari sistem basis data Interpol. Penelusuran itu dilakukan pihak Polri. Namun, sampai saat ini belum ada titik temu, atas pihak yang bertanggung jawab terhadap pencabutan Red Notice Djoko Tjandra. Pihaknya masih berkoordinasi, apakah status itu sudah diaktifkan kembali atau sudah mutlak dicabut.
Selain itu, kejaksaan agung juga tidak mengetahui siapa yang memberikan surat jalan kepada Djoko Tjandra. Dapat berpergian di dalam Indonesia. Namun, Ia memastikan, pihaknya tetap melakukan upaya pengejaran dan akan segera menangkap Djoko Tjandra.
“Malah saya tidak tahu siapa oknum yang menerbitkan surat jalan pada Djoko Tjandra. Padahal pembuat surat jalan itu, saya yakini sangat tahu akan status buronan yang disandang Djoko Tjandra,” ujarnya.
Saat ini, tambahnya, instansi terkait juga sedang menelusuri e-KTP milik Djoko Tjandra yang dibuat di Indonesia. Meski demikian, belum dapat dipastikan di mana keberadaan Djoko Tjandra saat ini. “Kami baru dapat informasi dan akan bergerak lagi,” tutupnya.
Sebagaimana diketahui, tersangka Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008. Red notice dari Interpol atas nama DJoko Soegiarto Tjandra kemudian terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan Djoko Tjandra ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI. Permintaan itu berlaku selama 6 bulan.
Kemudian pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri terhadap Joko Tjandra. Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi. Ditembuskan kepada Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri, ‘red notice’ atas nama DJoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data. Itu terhitung sejak tahun 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung. Saat itu jabatan Kapolri disandang Jenderal Polisi Sutarman (25 Oktober 2013-16 Januari 2015). Posisi Kabareskrim dijabat Komisaris Jenderal Suhardi Alius (24 November 2013-16 Januari 2015).
TANPA KOORDINASI
Pemberitahuan Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri itu ditindaklanjuti Dirjen Imigrasi Kemenkumham. Menghapus nama DJoko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Penghapusan itu tanpa koordinasi dengan Kejaksaan Agung sebagai penerbit DPO atas Djoko Tjandra. Mengetahui kondisi itu, pada 27 Juni 2020 Kejaksaan Agung meminta penerbitan DPO kembali. Permintaan itu membuat nama Djoko Tjandra dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
Atas penghapusan nama Djoko Tjandra sebagai buronan hukum di Indonesia oleh Dirjen Imigrasi itu, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan ke Ombudsman RI perihal dugaan malaadministrasi yang membuat Djoko masuk Indonesia. Laporan itu diajukan pada Selasa (7/7/2020).
Selain melaporkan Dirjen Imigrasi, MAKI juga melaporkan Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri. Juga, Lurah Grogol Selatan ke lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik itu. Koordinator MAKI Boyamin Saiman menerangkan, laporan terhadap Sekretaris Interpol NCB dilakukan terkait dengan nama Djoko yang tidak masuk red notice.
Sementara anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto mempertanyakan alasan Interpol menghapus status red notice Djoko Tjandra sejak 13 Mei 2020. Menurutnya, pencabutan tersebut dilakukan dengan mudah, sehingga Djoko bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus, yang menjeratnya. Bahkan Djoko bisa melakukan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang digunakan untuk mendaftarkan PK di PN Jaksel.
“Kami mempertanyakan siapa yang meminta dan untuk alasan apa Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri mencabut status red notice Djoko Tjandra. Selain itu, kami akan menanyakan apakah langkah pencabutan status red notice tersebut diketahui Kejaksaan Agung sebagai penerbit DPO dan pengadilan,” kata Wihadi pada Kamis (9/7/2020). (rim)