
bongkah.id — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali ke Ponorogo sejak Senin (10/11/2025) hingga Rabu (12/11/2025).
KPK melakukan serangkaian penggeledahan di lebih dari enam lokasi strategis di lingkungan Pemkab Ponorogo. Langkah ini merupakan bagian dari penyidikan dugaan korupsi berjamaah yang melibatkan lingkaran pejabat tinggi Ponorogo.
Tim penyidik KPK menyasar di sejumlah ruang di antaranya ruang kerja Bupati dan Sekda di Gedung Krida Praja, rumah dinas Bupati di Pringgitan, kediaman Sekda, serta kantor bidang pengadaan barang dan jasa (BPBJ) Setda Ponorogo, Senin (10/11/2025) siang hingga berjam-jam.
Tidak berhenti di kantor pemerintahan, KPK juga menggeledah rumah Ely Widodo, adik kandung Bupati Sugiri Sancoko di Desa Wunut, Kecamatan Babadan, pada Selasa (11/11/2025) dini.
Pada Rabu (12/11/2025) KPK bergerak melakukan penggeledahan di kantor Disbudparpora dan melakukan penyitaan dokumen terkait pembangunan Monumen Reog dan Museum Peradaban yang sedang dalam proses pembangunan di Desa Sampung, Kecamatan Sampung.
Dari sejumlah lokasi itu, penyidik mengamankan tiga koper berisi dokumen, perangkat elektronik, dan sejumlah uang tunai.
Juru bicara KPK Budi Prasetyo membenarkan Tim KPK melakukan penggeledahan ke Ponorogo sejak Senin lalu. “Benar, memang ada penggeledahan. Nanti kita update hasilnya,” katanya.
Hadi Priyanto, Kepala Bagian Protokol Pemkab Ponorogo, membenarkan adanya penggeledahan di ruangan utama, yaitu ruang kerja Bupati dan Sekda.
“Ruangannya Pak Bupati sama Pak Sekda disegel. Penyegelan itu dilakukan dalam rangka pemeriksaan saja. Setelah diperiksa, segelnya bisa dibuka dan ruangan sudah bisa digunakan kembali,” jelas Hadi Priyanto.
“Tadi memang ada berkas-berkas dibawa, tapi saya tidak tahu isinya. Mereka membawa koper sendiri. Paling lama diperiksa itu ruang Sekda,” tambahnya.
Penyidikan ini menelusuri tiga klaster besar dugaan tindak pidana korupsi: suap jabatan, suap proyek pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo.
KPK menilai ketiganya saling terkait dan membentuk pola korupsi berjamaah yang sistematis.
Empat nama telah ditetapkan sebagai tersangka yakni Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Sekda Agus Pramono, Direktur RSUD dr. Harjono Ponorogo Dr Haryono Yunus Mahatma, dan seorang rekanan swasta bernama Sucipto.
Hasil penyidikan sementara menunjukkan aliran dana sekitar Rp 2,6 miliar yang diduga mengalir melalui berbagai jalur, termasuk melalui Ely Widodo sebagai penampung dana sebelum diserahkan kepada bupati. Sebagian besar berasal dari fee proyek RSUD dan suap rotasi jabatan.
Namun, di balik kasus ini, ada pelajaran besar tentang pentingnya membangun budaya pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Publik berharap penyidikan ini tidak berhenti di meja hukum, melainkan menjadi momentum reformasi birokrasi di tingkat lokal.
Korupsi yang tumbuh dari sistem dan jaringan keluarga harus dihadapi dengan sistem pula, melalui pengawasan publik, transparansi anggaran, serta pembinaan etika pejabat.
Kehadiran KPK di Ponorogo bukan sekadar upaya penegakan hukum, melainkan juga sinyal kuat bagi daerah lain bahwa kekuasaan tanpa integritas hanyalah jebakan.
Ketika pejabat daerah mampu menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan alat memperkaya diri, maka roda pemerintahan akan benar-benar berputar untuk rakyat.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan daerah tidak akan berarti tanpa kejujuran. Ponorogo kini memiliki peluang langka untuk memperbaiki diri, dari skandal menuju reformasi.
Jika momentum ini dimanfaatkan dengan benar, Ponorogo bisa menjadi contoh daerah yang bangkit dari krisis moral menuju tata kelola yang bersih, transparan, dan dipercaya publik. (anto)


























