bongkah.id – Para buruh diminta Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengabaikan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang disampaikan para pengusaha lewat Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Pun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Demikian pula peringatan dari Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat. Juga pengelola kawasan industri.
Ini karena unjuk rasa yang dilakukan para buruh merupakan hak yang dilindungi undang-undang. Jika pengusaha melaksanakan ancamannya terhadap buruh yang berunjuk rasa. Dipastikan demo solidaritas buruh yang lebih besar akan terjadi. Pun kian merepotkan perusahaan dan pemerintah setempat.
“Saya mengimbau kepada kawan-kawan serikat buruh terus berkomunikasi dengan manajemen. Abaikan surat-surat pengelola kawasan, dinas ketenagakerjaan, Apindo, Kadin. Mereka nggak paham persoalan yang terjadi di perusahaan. Seperti juga kami di tingkat federasi yang tidak memahami kondisi tiap-tiap perusahaan,” kata Said Iqbal dalam konferensi pers virtual yang digelar KSPI, Senin (12/10/2020) siang.
Unjuk rasa para buruh terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja, menurut dia, dilindungi oleh UU nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Juga, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Demikian pula semua unjuk rasa buruh, yang terkait hak-hak dan kewajiban buruh yang dinilai merugikan buruh.
Keputusan turun ke jalan menolak UU Ciptaker yang dilakukan para buruh, dipastikan, telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Yakni mengirimkan pemberitahuan kepada polres setempat.
“Selama ini buruh saat akan turun ke jalan telah mengajukan permohonan ke polres setempat bersama pimpinan cabang. Tentunya, manajemen perusahaan sudah diajak bicara. Pernyataan Apindo itu tidak diperhatikan oleh kawan-kawan,” ujarnya.
Karena itu, Said iqbal mengingatkan para pengusaha agar menghentikan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada buruh, yang berunjuk rasa terhadap pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan buruh. Kalau saja para pengusaha benar-benar melakukan PHK terhadap para buruh yang berunjuk rasa, dipastikan sebuah unjuk rasa solidaritas yang lebih besar skalanya akan terjadi. Unjuk rasa ini berpotensi akan merepotkan pemerintah dan perusahaan, yang melakukan PHK tersebut. Demikian pula tuntutan hukum yang akan terjadi terhadap perusahaan, yang melakukan PHK tersebut.
“Sampai hari ini Alhamdulillah tidak ada PHK. Kami terus melakukan koordinasi dengan para pimpinan cabang. Kondisi ini kami harapkan terus terjaga. Jika ada PHK terhadap buruh yang melakukan unjuk rasa terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini, saya yakin sebuah unjuk rasa solidaritas akan terjadi dan masalah baru akan terjadi,” katanya.
DAFTAR KESALAHAN
Pada waktu sama, Said Iqbal juga membeberkan sebagian kesalahan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Yang disebut Presiden Jokowi, menteri-menteri terkait, dan sebagian anggota DPR RI sebagai bukti-bukti disinformasi.
Pertama, soal kontrak seumur hidup yang tertuang dalam UU Cipta Kerja. Ia beberkan terminologi kontrak seumur hidup yang dipakai para buruh saat unjuk rasa. Ini karena dalam UU sapu jagat tersebut, syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak dilonggarkan. Tidak memiliki batas waktu.
Fakta hukum tersebut, menurut dia, berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 59 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. PKWT dibatasi maksimal 3 tahun. Ketentuannya, PKWT dapat dilakukan paling lama dua tahun. PKWT itu hanya boleh diperpanjang satu kali, untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
“Dalam UU Nomor 13 tahun 2003, batas kontrak adalah dua tahun kontrak pertama dan kedua. Sementara kontrak ketiga selama satu tahun. Setelah 5 tahun jika pekerjaannya sama dan perusahaan tetap berjalan, maka buruh tersebut wajib diangkat menjadi karyawan tetap atau PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu),” katanya.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak memiliki batas waktu, ditegaskan, sangat rawan bagi buruh. Salah satunya jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi buruh berpotensi tidak dijalankan pengusaha. Ini karena UU Cipta Kerja mengatur JKP diberikan kepada pekerja dengan masa kerja 1 tahun.
“Pengusaha akan memanfaatkan pasal tersebut untuk mendzolimi buruh. Ini karena status para buruh yang tidak memiliki batas waktu kontrak. Pengusaha bisa menerapkan kesewenang-wenangan. Mempekerjakan buruh selama sebulan, lalu pecat. Atau dipekerjakan sebelas bulan, lalu di-PHK. Asal tidak sampai setahun minimal, sebagaimana syarat JKP harus dibayarkan pengusaha. Dengan demikian pengusaha tidak perlu bayar JKP. Jadi undang-undang ini Pasalnya tidak bisa jalan,” ujarnya.
Demikian pula adanya pasal, bahwa iuran JKP berasal dari pengusaha dan buruh. Pasal tersebut dinilainya merupakan omong kosong besar, yang akan membuat pemerintah menjamin buruh yang kehilangan pekerjaan. Sementara fakta yang terjadi saat ini, sudah banyak terlihat. Saat terjadi perselisihan antara buruh dan perusahaan, pemerintah selalu bermain aman. Tidak tegas dalam menerapkan UU Ketenagakerjaan secara zakelijk.
Kesalahan kedua, yang terkait disinformasi masalah pesangon. Dikatakan, buruh menuntut ketentuan pesangon untuk dikembalikan ke UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasalnya, dengan memakai UU Ketenagakerjaan, ketentuan pesangon tak pernah jadi masalah. Kendati penerapannya di lapangan berbeda dari yang ditulis dalam UU. Yakni 32 kali gaji.
Tidak demikian dengan pengaturan pesangon dalam UU Cipta Kerja, menurutnya, justru memberatkan pemerintah. Sebab kewajiban negara menanggung 6 bulan pesangon untuk memberikan pesangon sebesar maksimal 25 bulan. Secara realitas ekonomi, ketetapan tersebut peluangnya kecil untuk terealisasi secara benar sesuai undang-undang. Yang nantinya justru melahirkan kerepotan baru terhadap buruh yang mengalami PHK.
“Pesangon dalam kesepakatan Panja Baleg dan pemerintah yang sudah ditutup di rapat paripurna itu, ketetapan UU Ketenagakerjaan dengan pesangon 32 bulan upah diubah jadi 25 bulan. Rinciannya 19 bulan upah dibayar pemberi kerja, sementara 6 bulan dibayar oleh penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Yang artinya pemerintah,” ujarnya.
“Ini bukan hoaks. Kami ikut perumusan. Ada screen shoot. Ada buktinya kesepakatan antara wakil pemerintah yang dikirim ke kami. Ada bukti WA. Itu semua dasar kami berpendapat,” tegas Said. (rim)