bongkah.id – Pemerintah hendaknya tidak ngotot menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di masa penyebaran Covid-19 kian riskan. Perlu mempertimbangkan untuk melakukan penundaan. Selain 45 kabupaten/kota penyelenggara pilkada dalam kategori zona merah. Pertumbuhan kasus terlalu signifikan yang sulit dikendalikan. Sebuah kondisi yang sangat rawan terjadinya ledakan kasus positif Covid-19.
Demikian pendapat yang disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Daerah Fachrul Razi, dan Pengamat politik dari Indobarometer M Qodari sebagaimana keterangan tertulis yang diterima media dan diskusi virtual.
“Pemerintah tak perlu ngotot menggelar Pilkada 2020 jika laju penyebaran Covid-19 sangat riskan. Ketimbang memaksa menggelar Pilkada, pemerintah mestinya lebih memprioritaskan kesehatan masyarakat,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis yang diterima bongkah.id, Sabtu (12/9/2020).
Pemerintah dalam hal ini Kemendagri dan KPU, menurut politikus Partai Golkar ini, untuk tidak memaksakan Pilkada dilaksanakan tahun 2020. Tunda penyelenggaraannya sampai pandemi Covid-19 mereda, misalnya pada akhir 2021 mendatang. Ini karena situasi penyebaran Covid-19 memiliki kecenderungan mengarah pada situasi cukup riskan.
Salah satunya diperoleh data, sebanyak 45 kabupaten kota penyelenggara pilkada serentak, 9 Desember mendatang, masuk dalam kategori zona merah Covid-19. Situasi ini perlu penanganan serius, dibanding berspekulasi memaksakan penyelenggaraan pilkada dengan resiko munculnya klaster baru. Tak hanya itu, pemerintah juga harus memantau sejumlah daerah lain yang dipastikan ikut menggelar pilkada serentak. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan penyelenggaraan pesta demokrasi rakyat itu dengan benar dan aman untuk kesehatan masyarakat.
Kolektor senjata genggam ini mendorong pemerintah, untuk terus mengevaluasi progres tahapan Pilkada 2020 sejauh ini. Terbukti mayoritas daerah pada saat masa pendaftaran telah melanggar protokol kesehatan. Pun pelanggaran tersebut tak mendapat penanganan khusus oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah setempat. Demikian pula aparat kepolisian yang seharusnya berkewajiban membubarkan arak-arakan bakal calon peserta pilkada. Tidak perduli status bakal calon kepala daerah tersebut. Juga didukung partai mana pun.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fachrul Razi menekankan, bahwa DPD menolak pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19. Meminta pemerintah menunda hingga tahun 2021. itu pun jika pandemi Covid-19 sudah stagnan atau berakhir.
“DPD RI melalui Komite I meminta pemerintah untuk segera mengambil ruang atau celah yang ada di dalam UU Nomor 6 Tahun 2020. Memberikan ruang untuk menunda pelaksanaan pilkada pada tahun berikutnya. Itu pun jika pandemi sudah berakhir,” katanya sebagaimana keterangan tertulisnya.
Menurut dia, pilkada tidak sepatutnya dilaksanakan selama pandemi. Dikhawatirkan kasus Covid-19 terus meningkat. Menyebabkan munculnya klaster baru. Klaster Pilkada. Yang berpotensi meledak di masa tahapan kampanye.
Karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Tidak menyepelekan kemungkinan lahirnya klaster Pilkada. Asumsi itu berkaca pada sejumlah kasus yang sudah bermunculan di lingkungan KPU di banyak daerah, yang akan menyelenggarakan Pilkada 2020.
“Salah satu anggota KPU terkena covid-19. Sementara sebelumnya 21 pegawai KPU RI juga terkena Covid-19. Di Boyolali, Dinas Kesehatan mengkonfirmasi 70 orang pengawas pemilu terkonfirmasi positif Covid-19,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, DPD sudah menolak pelaksanaan Pilkada 2020 sejak awal pandemi. Ini karena DPD tidak pemaksaan penyelenggaraan Pilkada, harus dibayar mahal masyarakat dengan memperjudikan kesehatan yang beresika terinfeksi Covid-19. Yang sampai saat ini belum ada obatnya. (rim/bersambung)