bongkah.id — Kerugian BPJS Ketenagakerjaan akibat dugaan tindak pidana korupsi dapat mencapai Rp20 triliun, setidaknya terjadi dalam tiga tahun terakhir. Fakta itu terjadi akibat kesalahan dalam pengelolaan dana investasi di perusahaan. Modus pelanggarannya nyaris sama dengan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan Asabri.
Demikian Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (11/2/2021).
Menurut dia, Kejaksaan Agung hingga saat ini mempertanyakan juga ihwal kemungkinan risiko bisnis yang terbilang besar. Karena itu, sistem pengelolaan perputaran uang nasabah di BPJS Ketenagakerjaan perlu dipertanyakan, sehingga membuat perusahaan mengalami kerugian cukup besar.
“Kalau itu kerugian atas risiko bisnis, apakah analisanya sebodoh itu sampai menyebabkan kerugian Rp20 triliun?” kata Febrie.
Dikatakan, pihaknya saat ini tengah mendalami kemungkinan analisis keuangan yang salah, atau terjadi dalam kasus ini secara sengaja. Dia mempertanyakan soal perusahaan lain yang memiliki kerugian atas risiko bisnis sebesar itu. Kondisi ini membuat penyidik sangat berhati-hati menangani kasus ini.
“Nah sekarang saya tanya balik, di mana ada perusahaan-perusahaan yang lain unrealized lost sebesar itu dalam tiga tahun? Ada tidak transaksi itu, saya ingin dengar itu,” ujarnya.
Memang, dalam kasus dugaan korupsi BPJS Ketenagakerjaan itu belum ada tersangka yang dijerat penyidik Kejaksaan Agung. Demikian pula jumlah kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi tersebut, yang belum rampung dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagaimana diketahui, pada Senin (18/1), Kejaksaan Agung sudah menggeledah kantor BPJS Ketenagakerjaan, sejumlah dokumen diamankan. Penanganan kasus itu berdasarkan pada surat penyidikan Nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021. Dalam proses hukum tersebut, sejumlah dokumen pun diamankan.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono meduga ada korupsi dalam pengelolaan uang dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan. Modusnya, serupa dengan yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pihak Kejagung sedang memeriksa dana investasi BPJS Ketenagakerjaan yang diduga merugikan negara sebesar Rp43 triliun.
Kerugian diduga terjadi karena ada unrealized loss (penurunan nilai investasi). Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja menyatakan unrealized loss adalah kondisi penurunan nilai aset investasi saham atau reksa dana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal yang tidak bersifat statis.
“Unrealized loss tidak merupakan kerugian selama tidak dilakukan realisasi penjualan aset investasi saham atau reksa dana yang mengalami unrealized loss tersebut,” ucap Utoh dalam keterangan resmi.
Menurut Utoh, BPJS Ketenagakerjaan selama ini hanya menjual aset investasi saham dan reksa dana yang sudah membukukan keuntungan. Artinya, saham dan reksa dana yang terkoreksi masih disimpan dalam aset portofolio BPJS Ketenagakerjaan.
“Ini (unrealized loss) risiko yang tidak dapat dihindarkan setiap investor, termasuk BPJS Ketenagakerjaan, ketika menempatkan dana pada instrumen investasi di pasar modal seperti saham dan reksadana,” pungkas dia.
Sementara pada waktu berbeda, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, korupsi ada dua borok dalam pengelolaan investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan. Pertama, penempatan dana di saham bodong. Kedua, ada pemberian komisi kepada pihak yang menentukan investasi di BPJS Ketenagakerjaan.Dengan demikian, keputusan penempatan investasi bukan berdasarkan fundamental dari masing-masing saham, tapi karena komisi tersebut.
Sementara itu, Dewan BPJS Ketenagakerjaan selama ini tak mendapatkan informasi secara jelas terkait penempatan investasi BPJS Ketenagakerjaan. Informasi ini berdasar pengakuan Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.
“Misalnya blue chip dan non blue chip. Dasar pertimbangannya apa, tidak pernah dijelaskan,” ucap Said dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (10/2).
Ditegaskan, KSPI tak terima jika Kejaksaan Agung (Kejagung) nantinya menyatakan kerugian yang ditimbulkan dalam pengelolaan investasi di BPJS Ketenagakerjaan, hanya karena fluktuasi pasar modal dan risiko bisnis. Ini karena realisasi hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan yang sebesar 7,38 persen pada 2020 tidak wajar.
“Ini memang di atas bunga deposito hasil investasinya, tapi kenapa tidak 9 persen, 10 persen. Ini akibat salah kelola jadi patut diduga korupsi dan ada potensi kehilangan keuntungan,” ujarnya.
Karena itu, Said meminta pihak Kejagung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap BPJS Ketenagakerjaan. Ia juga heran atas sikap Kejagung yang belum juga menetapkan tersangka hingga saat ini.
“Kami pertanyakan Kejagung sudah satu bulan mengapa tidak ditetapkan siapa tersangkanya,” tambahnya.
Menurut dia, proses pemeriksaan harus bersifat transparan. Pasalnya, dana yang sedang diperiksa oleh Kejagung adalah uang buruh yang dititipkan di BPJS Ketenagakerjaan. Dana tersebut milik pribadi para buruh. Bukan milik pemerintah. Karena itu, pertanggungjawaban pemeriksaannya harus bersifat transparan, sehingga dapat diketahui perkembangannya oleh seluruh buruh yang ada di Indonesia. (rim)