Bongkah.id – Dusun Jatisumber, Mojokerto terkenal sebagai gudangnya pandai besi pada tahun 1970-1990, karena banyaknya pengrajin. Kini tinggal segelintir pengrajin pandai besi yang masih bertahan selama 53 tahun.
Segelintir pengrajin pandai besi yang masih bertahan ialah, Sulkan (66). Ia mengaku telah menjadi pengrajin pandai besi sejak tahun, 1971. Pria kelahiran 1958 ini, belajar ke para pandai besi di Dusun Jatisumber sejak usianya masih 13 tahun, termasuk ayahnya.
Pada masa itu, masih terdapat sekitar 50 pengrajin pandai besi di Dusun Jatisumber.
Menurut Sulkan, pada tahun 1970-1990an, Dusun Jatisumber terkenal sebagai gudangnya pande besi.
Terdapat sekitar 50 pengrajin yang eksis pada masa itu. Produk mereka dipasarkan mulai dari Jatim, hingga Kalimantan dan Sumatera. Saat ini, pengrajin pandai besi yang tersisa hanya dirinya.
“Dulu ada 50 pande besi di Jatisumber. Berkurang sedikit demi sedikit karena anak-anak muda memilih menjadi pemahat patung yang memang penghasilannya lebih banyak,” ungkap Sulkan, kepada wartawan di tempat usahanya, Jumat (10/01).
Kini, mayoritas yang terlihat di Desa Watesumpak memang para pemahat patung berbahan batu andesit, termasuk di Dusun Jatisumber. Meski demikian, ia mengaku enggan berpaling menjadi pengrajin pande besi.
Ia bertekad mempertahankan profesi dan keterampilan yang diwariskan para leluhurnya, selama 53 tahun ini.
“Keterampilan warisan turun temurun dari nenek moyang. Kakek dan bapak saya dulu juga pande besi. Setelah meninggal, saya teruskan daripada cari kerjaan ke sana ke mari,” ujar Sulkan
Bapak 3 anak ini, setiap hari menempa baja dan besi menjadi aneka alat pertanian, dibantu dengan adik kandungnya, Suyopo (55) dan keponakannya, Jumain (35). Seperti sabit, bendo, parang, pedang, cangkul, pisau dan pahat
Sejauh ini, ia mampu bertahan karena mempertahankan teknik dan kualitas produk warisan para leluhurnya. Hal itu yang membuat alat-alat pertanian buatannya masih diminati masyarakat luas.
“Pande lainnya memilih cepat dengan membentuk baja. Sehingga kualitasnya kalah dengan bikinan saya karena mereka tidak bisa melebur besi dengan baja. Kami lebur besi dan baja sehingga hasilnya lebih tajam dan kuat,” jelasnya.
Di usianya yang tak lagi muda, ia masih mampu menempa besi baja di bengkelnya mulai 08.00 sampai 14.00 WIB. Setalah itu, ia masih melanjutkan aktivitas untuk merawat sawahnya. Meski terfikir untuk berhenti, ia ingin mewariskan keterampilan ini kepada Jumain, yang pada tahap belajar.
“Harapannya dilanjutkan keponakan saya. Bapaknya dulu ikut saya menjadi pandai besi, tapi sudah meninggal,” tandasnya. (sis/sip)