bongkah.id – Surat Edaran (SE) Menkes Nomor HK.02.01/Menkes/382 yang mengatur batas tarif maksimal pelaksanaan rapid test mandiri terkait Covid-19 masih menjadi polemik. Aturan tersebut dinilai kurang tegas karena tidak menyebutkan sanksi yang akan dijatuhkan jika ada instansi layanan kesehatan yang melanggar ketentuan.
Biaya rapid test tertinggi yang diizinkan pemerintah dibatasi Rp 150 ribu sebagimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Tes Antibodi. Namun aturan tersebut tidak bisa benar-benar mengikat instansi pelayanan kesehatan karena belum memuat sanksi secara tegas dan rinci.
“Itu kan sudah urusannya bukan di domain Kemenkes nanti. Sudah ranah aparat, bisa dilihat itu berkaitan dengan pasal-pasal tentang pelanggaran,” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (9/7/2020).
Selanjutnya, Muhadjir hanya meminta agar masyarakat dapat menggunakan rapid test yang sudah terigester Kemenkes. “Karena itu yang penting jangan sampe gunakan rapid test yang tidak mendapatkan register dari Kemenkes,” imbuhnya.
Dalam SE Kemenkes dijelaskan besaran tarif masksimal Rp 150 ribu ditujukan bagi masyarakat yang melakukan tes secara mandiri. Aturan batas maksimal biaya rapid test dibuat sebagai acuan rumah sakit atau laboratorium dalam menetapkan biaya pemeriksaan.
Kedua, besaran tarif tertinggi sebagaimana dimaksud berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test antibodi atas permintaan sendiri. Pemeriksaan rapid test antibodi dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Aturan ini langsung mendapat penolakan dari pihak instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik di berbagai daerah. Dari pantauan Bongkah.id, selama ini, rumah sakit maupun klinik swasta memasang tarif paling murah Rp 200 ribu per rapid test.
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kalimantan Timur Edy Iskandar menyebut, penolakan dari kalangan pemilik dan pengelola rumah sakit atas besaran tariff yang ditentukan pemerintah karena tidak sebanding dengan biaya untuk membeli alat rapid test. Ia menyebut harga alat rapid test Covid-19 dari distributor sudah berkisar Rp 200.000-250.000 per sekali pemeriksaan.
“Belum lagi rumah sakit memiliki biaya operasional. Termasuk membiayai jasa analisis dan dokter. Sehingga muncul tarif rapid test di rumah sakit antara Rp 300 ribu ke atas,” jelas Edy, Rabu (8/9/2020).
Pemerintah, khususnya Kemenkes dianggap tidak konsisten. Sejak awal tidak ada aturan soal berapa sebenarnya tarif yang bisa dibebankan kepada masyarakat yang akan menjalani rapid test secara mandiri. Begitu pula soal biaya rapid test yang bisa diperoleh rumah sakit. “Kalau dari awal ditentukan alat rapid test itu Rp 50 ribu misalnya. Nah, itu masuk akal, kalau tarifnya nanti di bawah Rp 150 ribu,” tandasnya.
Sejak munculnya SE itu, Edy menyebut semua rumah sakit mengeluh dan tidak berniat untuk mengikuti. Pun jika Pemerintah ingin mengatur tarif, maka sejak awal harus diatur soal harga jualnya. “Sejak awal kan mengikuti mekanisme pasar,” katanya.
Berdasarkan mekanisme pasar, rumah sakit yang selama ini membeli alat rapid test dari swasta pun akhirnya menimbang. Jika SE yang menginstruksikan kepada fasilitas kesehatan untuk mengikuti batasan tarif tertinggi Rp150 ribu hanya sekedar imbauan.
“SE ini tidak mengikat. Tidak pula ada sanksi jika rumah sakit melanggar. Karena sejak awal tidak dikendalikan pemerintah,” sebutnya.
Kalau benar, ada alat rapid test yang lebih murah, Edy meminta kepada pemerintah untuk segera memberikan informasi, agar rumah sakit bisa mengikuti surat edaran tersebut. Namun, hingga kini, dirinya belum mendapatkan informasi apapun.
“Alat apa yang direkomendasikan? Yang dikeluarkan itu rapid test yang mana? Kalau ada yang murah, terjamin tidak kualitasnya?” kata Edy mempertanyakan dasar penetapan batasan tarif tertinggi.
Jika SE itu dipaksakan, maka pihak rumah sakit akan merugi. Apalagi udah rumah sakit swasta, yang disebutnya memiliki biaya operasional lebih tinggi dibandingkan rumah sakit pemerintah. (bid)