bubur suro milik Atik saat dipersiapakan./bongkah.id/Karimatul Maslahah/
bubur suro milik Atik saat dipersiapakan./bongkah.id/Karimatul Maslahah/

Bongkah.id — Aroma harum santan, rempah, dan wangi daun salam memenuhi dapur sederhana milik Atik Maria Ningsih (42) di Desa Sidowarek, Kecamatan Ngoro, Jombang. Sejak sebelum fajar, Atik bersama suami dan anak-anaknya sudah berjibaku di depan panci-panci besar, menanak puluhan kilo beras untuk diolah menjadi bubur suro, sajian khas yang selalu diburu warga setiap bulan Suro atau Muharram tiba.

Tradisi Suroan, yang sarat dengan ritual syukuran, doa keselamatan, hingga ruwatan, menjadikan bubur suro tak pernah absen di setiap rumah. Begitu pula di rumah Atik, yang dapurnya seolah berubah menjadi “pabrik bubur” dadakan setiap awal bulan Jawa.

ads

“Kalau Suro begini, kami nyaris nggak ada waktu istirahat. Pesanan datang terus, ada yang untuk keluarga, ada yang untuk acara kampung,” kata Atik, Selasa (8/7/2025) pagi, di sela-sela menyiapkan pesanan yang menggunung.

Sejak mulai meracik bubur suro pada 2018, Atik tak pernah kehabisan pelanggan. Setiap tahun, dapurnya kebanjiran pesanan. Di awal bulan Suro saja, Atik sudah mengirim ratusan porsi. Menjelang 10 Muharram, permintaan bisa melonjak berkali lipat.

“Awal 1 Suro kemarin sudah kirim 500 porsi. Menjelang 10 Muharram ini, sehari bisa sampai seribu porsi,” ungkapnya sambil menata lauk pendamping, teri goreng renyah, kacang tanah gurih, sambal goreng tempe keletik, suwiran ayam bumbu rempah, telur dadar iris, hingga kerupuk yang melengkapi rasa.

Untuk satu porsi bubur suro, Atik mematok harga Rp11 ribu. Meski sedikit lebih mahal dibanding bubur ayam biasa, para pelanggan tetap setia. Bahkan, banyak yang memesan dalam jumlah besar untuk dibagi ke tetangga atau dikirim ke sanak saudara di luar kota.

“Kalau pas puncaknya, omzet sehari bisa Rp5 juta sampai Rp7 juta. Alhamdulillah, sebulan bisa Rp60 juta sampai Rp80 juta,” katanya, tak bisa menyembunyikan syukur.

Namun bagi Atik, keuntungan bukan satu-satunya tujuan. Ia menganggap bubur suro sebagai bagian dari warisan tradisi yang wajib dijaga, apalagi di tengah gempuran zaman.

“Setiap sendok bubur yang disajikan, katanya, adalah doa dan harapan baik yang dikirimkan kepada sesama,” tandasnya.

Salah satu pelanggan setianya, Susilowati (47), mengaku selalu memesan bubur suro ke Atik setiap tahun. Bagi keluarganya, bubur suro tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menentramkan hati.

“Rasanya khas, lengkap, dan ada makna tersendiri. Kami pesan untuk tasyakuran, supaya keluarga selalu diberi selamat,” singkat Susilowati memungkasi. (ima/sip)

21

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini