Bongkah.id – Di balik kisah kelahiran Sang Proklamator, Ir. Soekarno, terselip sosok yang nyaris terlupakan, seorang kakek tua, tanpa nama, tanpa gelar. Dialah yang pertama kali menyentuh bayi kecil bernama Koesno, yang kelak menjadi Bung Besar. Sosok ini muncul dalam kutipan otobiografi Penyambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams, buku legendaris yang merekam cerita hidup Bung Karno dari lisannya sendiri.
“Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak jang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu-satunja orang jang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek jang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tidak ada orang lain selain dari orang tua itu, jang menjambutku menginjdak dunia ini,” tertulis dalam buku itu, dengan ejaan lama, terbitan tahun 1966.
Bagi Roso Daras, sejarawan nasional dan penulis sejumlah buku tentang Bung Karno, sosok tua ini bukan sekadar figur bayangan. Ia adalah petunjuk penting dalam mengungkap kepastian waktu dan tempat kelahiran Bung Karno yang masih menyimpan banyak misteri.
“Saya kira sosok ini penting menjadi salah satu petunjuk untuk mencari kepastian kapan dan di mana sebenarnya Bung Karno dilahirkan,” ujar Roso Daras saat dihubungi pada Minggu, (8/6/2025).
Roso menyebut, upaya pelacakan telah berkembang. Bahkan, ada kemajuan besar dari para pegiat sejarah di Jombang yang kabarnya telah menemukan foto sosok tua tersebut.
“Dan saya mendengar tahun lalu, teman-teman pegiat sejarah di Jombang telah menemukan fotonya,” imbuhnya.
Penelusuran berlanjut hingga ke Situs Persada Soekarno Wates Kediri, rumah keluarga ayah angkat Bung Karno, RM. Soerati Soemosewojo atau yang dikenal sebagai Den Mas Mendung.
“Berdasarkan cerita tutur keluarga kami, yang memegang bayi Koesno (nama kecil Soekarno) saat lahir adalah Kek Suro,” kata salah satu pengurus Situs Persada Soekarno.
Nama Kek Suro tak asing di kalangan spiritual Jawa. Ia bukan hanya tokoh tua biasa, melainkan penasihat spiritual Bung Karno saat menjabat presiden dan berkantor di Istana Yogyakarta tahun 1946–1949.
“Dan Kek Suro pernah menjadi penasehat spiritual Presiden Soekarno semasa berkantor di Istana Yogjakarta pada tahun 1946 sampai 1949. Makam Kek Suro ada di Yogyakarta, satu kompleks dengan makam H.O.S Cokroaminoto,” terang Kushartono, salah satu pemerhati sejarah.
Potret Kek Suro ditemukan dalam satu frame foto tua bersama para tokoh penting wilayah Kabuh, Jombang tahun 1925. Foto langka itu disimpan oleh Sulisyono Imam Jayaharja, keturunan dari keluarga Buyut Haji Ilyas Lurah Brumbung Mangunan masa itu.
“Di dalam foto itu ada buyut kami yang bernama Buyut Haji Ilyas yang merupakan Lurah Brumbung Mangunan Kabuh saat itu, lalu ada Raden Djamilun, dan juga terdapat foto Mbah Suro,” terang Sulisyono.
Foto itu dilengkapi tulisan “Koenjoengan R. Djamiloen ke Broemboeng 1925” yang merujuk pada Desa Mangunan saat ini.
Menurut Sulisyono, Mbah Suro adalah sahabat akrab Buyut Ilyas. Keduanya tokoh spiritual besar di daerah Brantas bagian utara. Bahkan, jejak Mbah Suro juga tersambung pada nama-nama besar spiritual Jawa lainnya.
“Buyut Terik Sumopawiro adalah anak dari Canggah Sumohardjo yang pernah jadi Lurah Karang Pakis, domisili di Pumpungan, maka disebut Mbah Bau Pumpungan. Mbah Bau Pumpungan adalah guru spiritual Mbah Suro, Mbah Mendung, Mbah Sayid, dan Bung Karno,” pungkasnya.
Keterangan lengkap tentang foto itu juga menyebut Pakdhe Ikhwan sebagai orang yang memotret pegawai Bea Cukai zaman Hindia Belanda dan cucu dari Buyut Haji Ilyas.
“Nah yang mengambil foto atau memfoto adalah Pakdhe Ikhwan, cucu Buyut Ilyas. Saat itu Pakdhe Ikhwan merupakan pegawai ‘Duoane’ atau Bea Cukai masa Hindia Belanda. Jadi foto itu foto koleksi keluarga kami,” lanjut Sulisyono.
Jaringan silsilah keluarga dan spiritualitas ini menambah kekuatan pada dugaan besar yang berkembang, bahwa Bung Karno memang lahir di Ploso, Jombang, pada 6 Juni 1902.
Kini, sejarah bukan lagi sekadar kumpulan teks dalam buku. Ia hidup dalam potongan-potongan foto, cerita tutur para keluarga, dan jejak nama-nama yang nyaris hilang. Dan di tengah semuanya, berdirilah sosok tua yang pernah menyambut lahirnya Sang Proklamator. Kek Suro, kakek yang setia pada waktu, tapi tak lekang oleh sejarah. (Ima/sip)