Romy saat mengamplas bingkai kayu di halaman tokonya./bongkah.id/Karimatul Maslahah/
Romy saat mengamplas bingkai kayu di halaman tokonya./bongkah.id/Karimatul Maslahah/

Bongkah.id – Di tengah serbuan pigura pabrikan berbahan fiber yang membanjiri pasaran, Romy tetap setia pada kayu. Sejak tahun 1999, pria asal Kota Mojokerto ini menjalankan usaha pembuatan pigura kayu secara mandiri dari sebuah toko kecil di Jalan Brawijaya. Meski sederhana, toko itu menyimpan aroma keuletan dan kecintaan terhadap seni dan detail.

“Harga pigura kayu permeter Rp150 untuk yang paling bagus, dan Rp65 permeter untuk yang standar. Tergantung pada ketebalan kayu,” ujar Romy, sambil memperlihatkan deretan pigura karyanya yang tertata rapi di rak-rak toko, Selasa (5/8/2025).

ads

Pigura-pigura itu bukan hanya alat membingkai gambar atau lukisan. Bagi Romy, setiap potong kayu yang ia bentuk menjadi pigura adalah bagian dari seni itu sendiri. Ia menggunakan kayu pinus dan kayu jati Belanda, dua jenis bahan yang menurutnya memberikan kekuatan sekaligus keindahan alami.

“Pigura kayu memiliki beberapa keunggulan, antara lain memberikan kesan klasik dan artistik, serta lebih tahan lama dan kuat dibandingkan bahan lain seperti fiber,” jelasnya.

Salah satu pelanggannya adalah Mpu Haris, pelukis ternama yang dikenal dengan karya-karya bertema kebesaran Majapahit. Romy bangga bisa ikut mengambil peran, meskipun kecil, dalam membingkai warisan budaya lewat pigura-pigura buatannya.

“Banyak seniman yang memesan pigura disini, seperti pelukis legend Mpu Haris, fotografer, dan para seniman lainnya,” jelasnya.

Proses pembuatan pigura di tokonya masih dilakukan secara manual. “Potong kayu sesuai ukuran yang diinginkan, lalu rakit menjadi bentuk persegi panjang. Setelah itu, haluskan permukaan kayu dengan amplas dan berikan sentuhan akhir dengan cat atau vernis,” ungkapnya, menjelaskan alur kerja yang telah dilakukannya puluhan tahun.

Meski begitu, tantangan tetap ada. Menurut Romy, perbedaan signifikan terlihat jelas antara pigura buatan tangan dan pigura pabrikan.

“Biasanya, pigura buatan tangan masih menggunakan kayu asli dengan waktu pembuatan cukup lama. Sementara pigura pabrik pembuatannya cukup cepat dan hanya menggunakan bahan fiber,” ujarnya.

Namun ia tak gentar. Bagi Romy, nilai sebuah pigura bukan hanya pada tampilannya, tetapi juga pada ketulusan dalam proses pembuatannya. Dan selama masih ada seniman yang menghargai karya buatan tangan, Romy yakin usahanya akan terus hidup, membingkai bukan hanya gambar, tapi juga sejarah dan rasa.

“Rezeki itu sudah ada yang mengatur, kita hanya butuh ketelatenan dan kesabaran,” pungkasnya. (Ima/sip)

13

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini