Bongkah.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bakal mendiskualifsikan calon, bahkan yang sudah terpilih, pada Pilkada 2024 jika terbukti kelengkapan syarat pencalonannya cacat secara formal. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu diminta cermat dan teliti dalam menjalakan setiap tahapan pilkada.
Hakim MK, Enny Nurbaningsih, menegaskan, selain sengketa hasil, lembaganya bisa mengadili permasalahan terkait persyaratan pokok, termasuk syarat pencalonan, demi menjaga kemurnian pemilu yang jujur, adil dan akuntabel. Apabila terdapat persyaratan calon yang cacat formal, maka MK dapat mendiskualifikasi calon terpilih.
“Mana kala Mahkamah menilai ada hal yang terpenting dari persyaratan formal, yaitu substansial, ada permasalahan yang harus ditegakkan di situ,” kata Enny. Hal ini dtegaskan dalam webinar bertajuk ‘Pilkada 2024 dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Sengketa Pilkada’ yang disiarkan akun YouTube MK, Senin (5/8/2024).
Enny menegaskan, MK berperan sebagai pengadil di tingkat akhir, setelah KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hingga Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal ini untuk menegaskan bahwa MK bukan sekadar ‘Mahkamah Kalkulator’ yang hanya mengurusi perselisihan suara atau sengketa hasil pemilu.
“Beberapa putusan Mahkamah (pada pilkada sebelumnya) pada akhirnya, mau tidak mau, mendorong sampai ke proses di awal, proses pencalonan yang ada disitu.,” kata Enny.
Baca Juga: Draf PKPU Baru, Cakada Tak Lapor Dana Kampanye Bebas Sanksi Diskualifikasi, Tapi…
Dia menyebutkan, di balik angka perolehan suara yang dipersengketakan, terdapat makna yang harus dipastikan Mahkamah agar suara rakyat terjaga kemurniannya. Oleh sebab itu, Mahkamah berharap agar KPU dan Bawaslu sungguh-sungguh berhati-hati dalam memproses pendaftaran calon kepala daerah pada Pilkada 2024 nanti serta tidak menutupi masalah yang muncul saat pencalonan tersebut.
“Sehingga ini kemudian MK memutuskan beberapa hasil pilkada lalu dengan putusan diskualifikasi calonnya sekalipun calonnya menang. Ini menyangkut persyaratan pencalonan di situ,” ujar dia.
Enny menjelaskan, Pasal 158 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mengatur bahwa sengketa hasil pilkada hanya dapat diajukan ke MK jika selisih perolehan suara mencapai maksimum 2 persen. Akan tetapi, Enny menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dan ambang batas/threshold itu dapat dikesampingkan.
“Ketika di akhir ternyata dilihat tidak jalan yang di awal, harus dikembalikan dari hulu ke hilir supaya sempurna sebagaimana prinsip kita yang menginginkan demokrasi yang luber dan jurdil,” terangnya. (bid)