Bongkah.id – Posisi utang badan usaha milik negara (BUMN) melonjak dampak tekanan pandemi COVID-19. Pada kuartal III tahun 2020, total utang BUMN mencapai Rp 1.682 triliun, membengkak Rp 289 triliun dibandingkan akhir 2019.
Lonjakan utang tersebut barangkali tidak terlalu mengejutkan. Mengingat berdasarkan data yang ada, setiap tahun perusahaan Kementerian BUMN memang menanggung utang yang terus meningkat. Tercatat, sejak 2017 yang total utangnya Rp 942 triliun, bertambah signifikan menjadi Rp 1.251 triliun dalam setahun dan terus melonjak sampai sekarang.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo pernah mengatakan kenaikan utang ini merupakan tantangan terbesar BUMN. Tahun lalu, kenaikan utang terjadi karena pembangunan infrastruktur dasar yang terus berjalan meski di tengah pandemi Covid-19.
“Karena memang kami sangat diharapkan untuk membangun infrastruktur dasar seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, dan lain sebagainya. Ini membuat memang secara posisi utang BUMN meningkat,” Tiko, sapaan akrabnya, dalam sesi diskusi beberapa waktu lalu.
Berkaca pada data Kementerian BUMN, sektor infrastruktur menjadi salah satu penyumbang angka utang yang besar. Total utang sektor ini mencapai Rp 270,5 triliun dalam sembilan bulan pertama 2020. Angka tersebut, tercatat naik dari Rp 237,5 triliun pada 2019 lalu.
Berdasarkan laporan keuangan masing-masing perusahaan infrastruktur pelat merah yang melantai di Bursa Efek Indonesia, total liabilitas PT Adhi Karya Tbk (ADHI) mengalami kenaikan paling besar yaitu 7,7% menjadi Rp 31,96 triliun per September 2020. Mayoritas, merupakan liabilitas jangka pendek senilai Rp 26,56 triliun, naik 8,46%.
Liabilitas yang meningkat, juga terjadi pada PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebesar 5,51% menjadi Rp 45,26 triliun per September 2020. Seperti Adhi Karya, liabilitas jangka pendek mendominasi, senilai Rp 40,18 triliun, naik hingga 32,4%.
Meski begitu, total liabilitas PT PP Tbk (PTPP) mengalami penurunan sebesar 2,72% menjadi Rp 39,76 triliun pada triwulan III 2020. Penurunan disebabkan liabilitas jangka panjang yang turun 19,14% menjadi Rp 9,17 triliun. Meski mayoritas dari liabilitas jangka pendek Rp 30,58 triliun atau naik 3,59%.
Sementara, total liabilitas PT Waskita Karya Tbk (WSKT) per September 2020, nilainya Rp 91,86 triliun, turun 1,72% dari posisi akhir 2019. Penurunan terjadi pada liabilitas jangka pendek 13,84% menjadi Rp 38,79 triliun. Liabilitas perusahaan mayoritas ada di jangka panjang senilai Rp 53,06 triliun, naik hingga 9,54%.
Pertamina Tingkatkan Cadangan Pasokan BBM untuk Naikkan Laba
Sementara di perusahaan pelat merah yang lain, PT Pertamina (Persero) memasang besaran target laba tahun 2021 naik dua kali lipat dibanding periode sebelumnya. Pada 2020, laba perseoran sektor minyak dan gas itu mencapai Rp 14 triliun.
“Targetnya tahun ini mendekati dua kali karena pandemi,” tutur Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama, Jumat (5/2/20210).
Strategi untuk mencapai target itu salah satunya dengan menghemat anggaran dari sisi pengadaan. Selain itu, Pertamina akan merealisasikan sejumlah investasi yang paling menguntungkan.
“Jadi harus bisa hemat dan ketat. Bisa tanya (jenis investasinya) ke direksi,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok ini.
Pertamina memperoleh laba bersih USD 1 miliar atau Rp 14 triliun pada pembukuan 2020. Laba bersih Pertamina membalikkan kerugian pada semester I tahun itu. Pada paruh pertama tahun lalu, perusahaan pelat merah menghadapi kerugian USD 767,91 juta.
Pertamina pun melakukan sejumlah inisiatif untuk melakukan perbaikan secara internal, di antaranya menerapkan penghematan hingga 30 persen. Dengan demikian, Pertamina mengatur skala prioritas untuk merealisasikan investasi hingga melakukan renegosiasi kontrak eksisting.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengklaim laba bersih USD 1 miliar dicapai dengan meningkatkan produktivitas hulu migas dan kilang serta efisiensi di semua bidang. Nicke menjelaskan sepanjang 2020 perusahaan mengalami triple shock atau tekanan dari tiga sentimen sekaligus.
Tekanan itu meliputi rendahnya harga minyak dunia, lemahnya permintaan, dan depresiasi kurs.
“Pemotongan opex (operational expenditure) 30 persen dan prioritasi anggaran investasi,” katanya.
Tahun lalu, permintaan BBM pun secara nasional turun sebesar 25 persen. Di saat yang sama, harga minyak sangat terdampak dan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sangat memengaruhi kinerja keuangan perusahaan migas.
Namun, perusahaan memiliki strategi untuk menghadapi kondisi. Nicke menyebutkan, Pertamina membuat cadangan pasokan pada saat harga energi yang sedang turun dengan membeli dalam jumlah besar dan disimpan di penyimpanan di darat (landed storage) dan terapung (floating storage).
“Inilah yang kami lihat, Pertamina berhasil cetak laba dan ini luar biasanya effort-nya. Jadi, sektor energi ini harus lakukan efisiensi luar biasa untuk melakukan adjustment,” tuturnya. (bid)