
Bongkah.id – Tjahja Fadjari (60) mantan Direktur Perumda Perkebunan Panglungan, ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi penyaluran kredit dana bergulir pada Bank UMKM Jatim, kasus yang menyeret uang negara hingga Rp 1,5 miliar.
Dari hasil penyidikan, perlahan fakta demi fakta terkuak. Dana yang semestinya membantu program pembibitan porang, ternyata sempat ‘menyimpang jalur’.
“Fakta yang kami temukan, ada sebagian dana dari Rp 1,5 miliar itu justru dibayarkan untuk utang tidak seperti seharusnya yang digunakan untuk pembibitan porang,” lontar Kasi Pidsus Kejari Jombang, Ananto Tri Sudibyo, Kamis (3/7/2025).
Tanpa merinci angka pastinya, Ananto memastikan uang tersebut tak berhenti di kas perusahaan. Sebagian malah dialihkan untuk kepentingan pribadi sang direktur.
”Kalau bicara utang pribadi, memang ada dibayarkan juga ke perorangan dan dibayarkan untuk kredit di bank juga,” pungkasnya.
Proses hukum terus berjalan. Penyidik kini fokus melengkapi berkas dan menelusuri kemana saja aliran uang mengalir. Dana bergulir yang seharusnya membantu petani porang justru ‘bergulir’ ke tempat yang tidak seharusnya.
Kisah ini bermula pada 16 April 2021, saat Perumda Perkebunan Panglungan mendapatkan kredit dana bergulir dari PT Bank BPR Jatim Bank UMKM Jawa Timur senilai Rp 1,5 miliar. Kredit dengan bunga 6% per tahun dan tenor tiga tahun itu dijamin dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) kebun porang seluas 5.140 meter persegi di Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam. Ironisnya, lahan tersebut bukan milik perusahaan, melainkan milik Kepala Unit Umum Perumda Perkebunan Panglungan, Sudjiadi.
Tjahja Fadjari, sang direktur, hanya membuat perjanjian kerja sama dengan Sudjiadi. Namun perjanjian dan pengajuan kredit ini ternyata tak pernah mengantongi persetujuan Bupati Jombang selaku kuasa pemilik modal. Celakanya lagi, perusahaan daerah ini bahkan tak memiliki rencana bisnis ketika mengajukan kredit.
“Permohonan kredit oleh Perumda Perkebunan Panglungan Jombang tidak dibuat dengan benar. Analisis dan evaluasi kredit yang dilakukan penyelia kredit hanya sebatas formalitas dan tidak diperiksa dan diteliti kembali oleh pemimpin cabang maupun komite kredit secara keahlian,” terang Kajari Jombang Nul Albar dalam konferensi pers pada malam penahanan Fadjari, pada Jumat (23/5) lalu.
Seolah rangkaian prosedur yang diabaikan masih belum cukup, rencana bisnis baru muncul untuk periode 2022-2027, padahal dana sudah cair sejak 2021. Alhasil, dana yang seharusnya menjadi nafas segar untuk petani porang, justru membayar utang pribadi sang direktur.
Kini, di balik jeruji Lapas Kelas II B Jombang, Tjahja Fadjari harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Ia dijerat pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman yang tidak main-main.
Sementara di luar sana, dana Rp 1,5 miliar yang semestinya menjadi modal usaha bersama, tinggal cerita, sebagian lenyap untuk membayar utang pribadi yang tak pernah semestinya dibayar dengan uang rakyat. (Ima/sip)