
bongkah.id – Aksi premanisme di kota besar seperti Surabaya bukan sekadar persoalan kriminalitas, melainkan bayang-bayang yang perlahan menggerus rasa aman warga.
Di balik ritme urban itu, acapkali warga terdiam karena adanya intimidasi, gertak, dan kekerasan yang datang bukan dari hukum, melainkan dari kelompok yang merasa berkuasa.
Kondisi itu dirasakan Elina Widjajanti, perempuan berusia 80 tahun, ketika rumah yang ia tempati tiba-tiba didatangi puluhan orang, mengusirnya secara paksa. Bukan dengan surat pengadilan, melainkan dengan tekanan massa. Bukan lewat palu hakim, tetapi dengan otot dan ancaman.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi geram dengan peristiwa itu. “Surabaya harus aman. Siapa pun yang melakukan premanisme akan ditindak dan dihilangkan dari kota ini,” tegas Eri yang akhirnya membuka wacana untuk membentuk Satuan Tugas Anti-Preman.
Pemkot Surabaya berencana melibatkan TNI, Polri, serta unsur masyarakat lintas suku. Sebuah upaya menutup celah di mana intimidasi kerap bersembunyi di balik nama organisasi atau solidaritas kelompok.
Surabaya bukan kota kecil. Ia adalah simpul ekonomi Jawa Timur, tempat berbagai suku, profesi, dan kepentingan bertemu. Di ruang yang padat seperti itu, sengketa tak terelakkan, termasuk sengketa properti. Namun ketika konflik tak lagi dibawa ke pengadilan, melainkan ke jalanan, premanisme menemukan panggungnya.
“Kota besar tak boleh kalah oleh aksi main hakim sendiri,” ujarnya membara.
Baginya, kekerasan terhadap warga lanjut usia bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi cermin kegagalan menjaga rasa aman. Kota yang ramah investasi dan pembangunan, kata Eri, seharusnya juga ramah bagi warganya yang paling rentan
Peristiwa yang dialami lansia Elina Widjajanti membuat wajah kota besar Surabaya yang biasanya sibuk dengan pembangunan dan prestasi berubah menjadi muram. warga bertanya-tanya, sejauh apa hukum benar-benar hadir di tengah mereka.
Yang diderita Elina tak hanya rumahnya yang rata dengan tanah. Namun juga runtuhnya rasa aman warga ikut terkikis.
Karenanya, satgas itu diharapkan menjadi pintu pengaduan sekaligus simbol kehadiran negara di tingkat paling dekat dengan warga. Bahwa jika ada masalah, jalan hukum masih ada, tanpa perlu mengerahkan massa atau kekuatan fisik. Pemkot juga berencana mengumpulkan tokoh masyarakat dan pimpinan organisasi kemasyarakatan awal Januari 2026.
Pesannya sederhana, namun krusial, yakni Surabaya dibangun oleh keberagaman, bukan oleh rasa takut.
Di tengah hiruk-pikuk kota besar, kasus Elina menjadi pengingat bahwa premanisme tak selalu hadir dalam wajah kasar di sudut terminal atau pasar. Kadang ia datang rapi, terorganisasi, dan mengatasnamakan klaim sepihak.
Surabaya boleh terus tumbuh, gedung boleh makin tinggi, dan jalan boleh makin lebar. Tapi bagi warganya, terutama mereka yang tak lagi muda, rasa aman tetap menjadi kebutuhan paling dasar. (anto)

























