bongkah.id – Jalur zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2020 merupakan embrio penerapan prinsip keadilan sosial dalam UUD 1945. Sekolah Negeri hanya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah dan membutuhkan. Siswa dari ekonomi atas silahkan menuntut ilmu di sekolah swasta, karena ekonomi keluarganya mampu untuk memenuhi semua biaya pendidikan yang dibutuhkan.
Demikian penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam acara diskusi daring Komisi Perlindungan Korupsi, Rabu (29/7/2020).
“Secara prinsip undang-undang dasar kita, sekolah negeri itu seharusnya untuk yang paling membutuhkan secara sosial ekonomi. Prinsip itu menegaskan keadilan sosial yang dijunjung tinggi,” kata mantan Big Bos GoJek ini.
Prinsip keadilan sosial dalam UUD 1945 itu, menurutnya, mulai diimplementasikan lewat jalur zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dalam sistem ini seleksi masuk sekolah negeri menggunakan indikator jarak, sebagaimana Peraturan Mendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang PPDB. Dalam aturan tersebut zonasi mencakup paling sedikit 50 persen dari daya tampung sekolah, harus diisi oleh siswa yang jarak rumahnya berdekatan dengan sekolah.
Memang, hal ini tak akan mudah diterima publik. Terlebih, proporsi besar pada jalur zonasi baru diterapkan beberapa tahun ini. Namun, merupakan suatu reformasi dunia pendidikan yang perlu dan harus dilakukan. Sistem zonasi ini memiliki potensi mengubah kesetaraan pendidikan di Indonesia.
Dikatakannya, sistem zonasi dalam PPDB merupakan perbaikan terhadap sistem dengan menggunakan nilai ujian nasional (UN) sebagai patokan seleksi. Tapi indikator nilai dalam PPDB memunculkan situasi siswa dengan sosial ekonomi menengah ke atas lebih banyak mengecap pendidikan di sekolah negeri. Sementara siswa dengan ekonomi menengah ke bawah banyak yang dipinggirkan.
Selain itu, sistem seleksi menggunakan UN banyak terbukti dimanfaatkan oleh oknum sekolah terkait. Demikian pula oknum di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Jual beli bangku sekolah pada wali murid, yang terobsesi anaknya untuk masuk sekolah negeri. Situasi ini meahirkan permainan uang haram masuk ke kantong oknum terlibat, yang merugikan program pendidikan pemerintah.
“Kenakalan dalam jual beli kursi sekolah negeri oleh para oknum itu, sebenarnya yang membuat sistem pendidikan di Indonesia tersendat menerapkan program wajib sekolah 12 tahun,” ujarnya.
Dipastikan Nadiem, jalur zonasi PPDB kedepannya akan dilakukan berbagai perbaikan menuju penyempurnaan. Misalnya aturan jumlah siswa keluarga ekonomi rendah yang berhak masuk di sekolah negeri.
Jumlahnya akan dimaksimalkan sampai semua siswa keluarga ekonomi rendah di zonasi sekolah tertampung. Sisanya baru diberikan pada siswa keluarga ekonomi menengah sampai tertampung semua. Kalau masih ada sisa, baru diberikan pada siswa dari ekonomi atas.
“Dalam menerapkan sistem zonasi tersebut, saya tengah melakukan pembahasan agar syarat nilai akhir tidak menjadi pertimbangan buat siswa dari ekonomi lemah. Namun diwajibkan buat siswa dari ekonomi menengah dan atas. Konsep ini untuk menerapkan prinsisp keadilan sosial yang ada dalam UUD 1945,” katanya.
KEADILAN SOSIAL
Keinginan menampung semua siswa dari keluarga ekonomi rendah dan membutuhkan masuk sekolah negeri, menurutnya, sebagai langkah untuk mensukseskan program pemerintah wajib pendidikan 12 tahun.
Moto tersebut agar tidak sekadar menjadi lipstik dunia pendidikan, seperti selama ini. Namun, menjadi sebuah konsep yang harus dibuktikan secara nyata. Dan, selama ini yang menjadi korban komersilnya dunia pendidikan, adalah para siswa dari keluarga ekonomi rendah.
Sebagai informasi PPDB juga sempat menuai polemik, khususnya di DKI Jakarta. Demikian pula disemua daerah. Pasalnya aturan usia yang dibuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan tujuan mengakomodir siswa tingkat ekonomi rendah justru menyingkirkan siswa muda.
Dalam kasus DKI ini, Nadiem mengatakan, telah membentuk tim khusus yang bertugas mengevaluasi dan membimbing pemerintah daerah dalam penerapan PPDB. Tim ini juga mendapat banyak masukan dari orang tua dan siswa ,untuk bahan perbaikan di tahun berikutnya. Evaluasi pun bakal melibatkan pemerintah daerah setempat.
Perkara teknis PPDB, Nadiem sendiri mengaku pihaknya tidak bisa mengatur teknis PPDB tanpa memberikan fleksibilitas kepada pemerintah daerah. Hal ini karena tiap daerah memiliki kondisi berbeda.
“Untuk pemerintah pusat menentukan detail mengenai area spesifik bagaimana cara mengatur zonasi itu, tidak akan menemui titik temu dan bisa menciptakan masalah lain,” lanjutnya.
Ditambahkan Nadiem, salah satu tugas besar yang perlu dituntaskan pihaknya, adalah meningkatkan angka partisipasi kasar atau rasio jumlah siswa yang sedang bersekolah. Dalam perhitungan Kemendikbud, upaya meningkatkan angka partisipasi kasar atau rasio jumlah siswa yang bersekolah tidak akan mungkin diwujudkan tanpa bantuan pihak lain.
“Kalau kita hitung-hitung dari semua total jumlah kebutuhan sekolah di Indonesia dan kita proyeksikan ke depan, tidak mungkin dapat terpenuhi tanpa partisipasi pihak swasta,” ujarnya.
Sebagaimana data Kemendikbud, jumlah sekolah negeri secara nasional umumnya semakin menipis pada jenjang pendidikan menengah. Artinya, jumlah SD bisa berlipat lebih banyak daripada SMP dan SMA.
Mengutip data Kemendikbud tersebut ada 131.879 atau 88,25 persen SD negeri dan 17.556 atau 11,75 persen sekolah SD swasta di Indonesia. Kemudian 23.594 atau 58,17 persen SMP negeri dan 16.965 atau 41,83 persen SMP swasta. Serta 6.883 atau 49,36 persen SMA negeri dan 7.061 atau 50,64 persen SMA swasta.
Sementara perhitungan Kemendikbud mengestimasikan setiap tahunnya ada 13.668.764 siswa lulusan alih jenjang. Rinciannya sebanyak 2.325.914 siswa lulus PAUD, 4.082.808 siswa lulus SD, dan 3.177.234 siswa lulus SMP.
“Berdasar data tahunan siswa yang lulus dan sekolah yang siap menyerap, maka seleksi siswa dari keluarga rendah harus dilakukan. Mereka harus mendapat hak keadilan sosial untuk mendapatkan pendidikan. Sementara siswa dari keluarga menengah dan atas, tidak kesulitan mendapat pendidikan. Ekonomi keluarga mereka mampu memenuhi kebutuhan memilih kualitas sekolah swasta,” ujarnya. (ima)