bongkah.id – Skandal Surat Jalan buronan Kejaksaan Agung Djoko Tjandra yang diterbitkan “Bareskrim Polri”, dipastikan tidak akan berhenti dengan penetapan tersangka pada Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Status tersangka berpotensi akan bertambah. Peluang itu mencuat, setelah Bareskrim memastikan akan mendalami motif tersangka menerbitkan surat jalan tersebut. Demikian pula pelacakan aliran dana yang terjadi, dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Saat ini kami intensif untuk melakukan pemeriksaan dan pendalaman, terkait dengan motif tersangka Prasetijo Utomo membantu buronan Djoko Tjandra. Langkah ini untuk membuat terang peristiwa pidana yang terjadi,” kata Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo di ruang kerjanya, Selasa (28/7/2020).
Sebagaimana diketahui, Bareskrim telah menetapkan Prasetijo Utomo sebagai tersangka pemalsuan surat jalan untuk Djoko Tjandra setelah dilakukan gelar perkara, Senin (27/7/2020) kemarin. Alumni Akpol 1991 itu dijerat Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 E KUHP, Pasal 426 ayat (1) KUHP, dan atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP. Dari jerat pasal-pasal itu, Prasetijo disangka dalam pembuatan dan penggunaan surat palsu, membantu orang yang dirampas kebebasannya (Djoko Tjandra), hingga menghalangi penyidikan. Tersangka terancam hukuman penjara maksimal enam tahun.
Dengan melakukan pendalaman atas motif tersangka Prasetijo Utomo yang rela mengorbankan kariernya. Membantu buronan cassie Bank Bali Djoko Tjandra, diyakini Listyo, bukan kemuskilan akan menjerat pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam skandal Surat Jalan Rjoko Tjandra.
“Tim penyidik saat ini terus bekerja. Melakukan pendalaman terhadap kemungkinan munculnya tersangka-tersangka baru. Saat ini sudah memeriksa kurang lebih 20 orang sebagai saksi,” ujarnya.
Selain itu, Polri akan mengusut dugaan aliran dana ke sejumlah pihak dalam pemulusan langkah Djoko Tjandra. Tidak menutup kemungkinan Polri akan bekerja sama dengan KPK untuk mengusut dugaan itu. Demikian pula pelacakan aliran dananya secara detail dengan bantuan PPATK.
“Terkait aliran dana kita sudah membuka lidik untuk melakukan tracing terhadap aliran dana, menyasar kepada siapa saja akan dijelaskan selanjutnya,” kata Jenderal Polri bintang tiga itu.
Koordinasi dengan KPK itu, dikatakan, berkaitan dengan upaya penerapan undang-undang tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Sementara itu, dengan PPATK untuk mengetahui aliran dana dari pihak Djoko Tjandra kepada tersangka. Juga, penggunaan dana tersebut oleh tersangka.
BAKAR BARBUK
Secara hukum, temuan penyidikan KPK dan data yang diberikan PPATK berpotensi memperpanjang pasal yang menjerat tersangka Prasetijo Utomo. Secara teknik pasal yang menjerat akan dilengkapi dengan pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Demikian pula UU Pencucian Uang, yang akan berdasarkan pembuktian data berdasar verifikasi yang dilakukan PPATK.
Sedangkan dari gelar perkara yang dilakukan Bareskrim, diakui, tersangka terindikasi menghalangi penyidikan. Tersangka Prasetijo Utomo memberikan perintah untuk membakar barang bukti. Memanfaatkan jababatan struktural Polri, dengan memerintah bawahannya Kompol Joni Andrianto untuk membakar surat yang telah dipergunakan dalam perjalanan oleh saudara Anita Kollopaking dan Djoko Tjandra, termasuk juga oleh Prasetijo Utomo.
Berdasarkan konstruksi penghilangan barang bukti itu, maka digunakan Pasal 221 ayat 1 ke-2 KUHP. Dengan tuduhan, tersangka Prasetijo Utomo telah menghalang-halangi atau menyulitkan penyidikan, dengan menghancurkan dan menghilangkan sebagian barang bukti. Fakta itu dikuatkan dengan keterangan dari saksi. Demikian pula barang bukti yang dikumpulkan penyidik.
Sedangkan untuk konstruksi Pasal 263 KUHP ayat 1 dan ayat 2 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 E KUHP terkait sangkaan pembuatan dan menggunakan surat palsu. Dibuktikan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan tersangka dengan menerbitkan surat jalan hingga surat pemeriksaan bebas Covid-19.
“Dua surat terkategori pemalsuan itu, karena kedua surat itu dibuat atas perintah dan ditandantangi sendiri oleh tersangka Prasetijo Utomo. Padahal tersangka tidak berhak untuk menerbitkan dan menanda tangani surat jalan tersebut. Sementara surat keterangan bebas Covid-19 dan rekomendasi kesehatan yang dibuat di Pusdokkes Polri, dilakukan tersangka yang seharusnya bukan wewenang jabatan strukturalnya” ujarnya.
Sementara konstruksi Pasal 426 KUHP tentang membantu orang yang dirampas kemerdekaannya. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah membantu Djoko Tjandra yang berstatus sebagai buronan.
Dalam pasal ini, yang didalami dan menjadi objek perkara adalah keputusan Kapolri Nomor 119 tanggal 20 Juni 2019 tentang pengangkatan Prasetijo sebagai Karo Korwas Bareskrim Polri. Demikian pula Surat Jampidsus kepada Kabareskrim Polri tentang status hukum Djoko Tjandra.
“Dalam konstruksi ini peran tersangka Prasetijo Utomo sebagai anggota Polri yang seharusnya bertugas sebagai penegak hukum, ternyata membiarkan atau mengirim pertolongan kepada Djoko Tjandra dengan mengeluarkan surat jalan, membuat surat keterangan bebas Covid, dan surat rekomendasi kesehatan,” tegasnya.
LALAI PENGAWASAN
Sedangkan awal terbongkarnya skandal Surat Jalan Djoko Tjandra yang diterbitkan Bareskrim Polri itu berawal dari pelaporan LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), pada Ombudsman dan DPR RI. Dalam dua pelaporan tersebut, MAKI menyertakan fotocopy Surat Jalan atas nama Joko Soegiarto Tjandra itu, yang tersurat dalam sebuah kertas berkop Bareskrim Polri Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS.
Surat jalan tersebut tertera dengan nomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020 dan ditandatangani oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetyo Utomo. Dalam surat jalan itu, tertera nama Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dengan jabatan sebagai konsultan. Disebutkan berangkat dari Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020 untuk keperluan konsultasi dan koordinasi.
Dari hasil penyelidikan internal, Prasetijo Utomo dinyatakan menyalagunakan wewenangnya sebagai Kakorwas Bareskrim Polri dengan menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra. Menyikapi hal itu, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis kemudian mencopot Prasetijo dari jabatannya selaku Kakorwas Bareskrim Polri. Pencopotan itu tertuang dalam surat telegram Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020.
Selain mencopot Prasetijo Utomo dari jabatannya, Kapolri juga mengeluarkan surat telegram rahasia (TR) berisi rotasi jabatan. Dalam TR tersebut, dua Jenderal yang bertugas di Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri dimutasi. Yakni Kadivhubinter Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri, Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo. Surat TR Nomor ST/2076/VII/KEP/2020 itu ditandatangani oleh As SDM Polri, Irjen Pol Sutrisno Yudi Hermawan atas nama Kapolri, Jumat (17/7/2020).
Keduanya dimutasi lantaran diduga melanggar kode etik terkait red notice buronan Djoko Tjandra, yang ditengarai menjadi sumber penerbitan Surat Jalan Djoko Tjandra yang diterbitkan Prasetijo Utomo. Keduanya dinilai melanggar kode etik lantaran lalai dalam pengawasan staf.
Saat ini Napoleon Bonaparte dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Posisinya digantikan Brigjen Pol Johanis Asadoma yang sebelumnya menjabat Wakapolda Nusa Tenggara Timur. Sementara Nugroho dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri. Kadiklatsusjatrans Lemdiklat Polri Brigjen Amur Chandra Juli Buana akan mengisi posisi yang ditinggalkan Nugroho. (rim)