bongkah.id – Bagi organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila merupakan pilihan terbaik dan final. Karena, Pancasila merupakan hasil perjanjian seluruh elemen bangsa. Dalam pemahaman Muhammadiyah, Pancasila adalah darul ‘ahdi wa al-syahadah (Negara Konsensus dan Kesaksian). Sedangkan NU memahami Pancasila sebagai mu’ahadah wathaniyah (Kesepakatan Kebangsaan).
Kesimpulan tersebut mengemuka dalam sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dengan promovendus atas nama Said Romadlan, Senin (27/7/2020). Dengan tim promotor yang terdiri dari Prof. Dr. Ibnu Hamad, M.Si (Promotor) dan Prof Effendi Gazali, M.Si, M.P.SI.D., Ph.D (Kopromotor).
Dalam siaran persnya, Said menyampaikan penelitian disertasinya berjudul ‘Diskursus Gerakan Radikalisme dalam Organisasi Islam (Studi Hermeneutika pada Organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentang Dasar Negara, Jihad, dan Toleransi)’.
“Peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU mengenai Pancasila tersebut sekaligus menjadi kritik dan perlawanan atas upaya-upaya kelompok tertentu untuk mengganti dan mengubah Pancasila sebagai ideologi bangsa,” kata Said menguraikan.
Penerimaan Muhammadiyah dan NU terhadap Pancasila, menurutnya, bukanlah pandangan politik yang didasarkan atas kepentingan pragmatis dan jangka pendek. Pandangan kedua organisasi Islam moderat itu, dihasilkan melalui proses refleksi dan dialektika keduanya atas sejarah lahirnya Pancasila. Yang melibatkan langsung para tokoh Muhammadiyah dan NU.
“Selain itu, secara kontekstual peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU atas Pancasila merupakan perlawanan kedua organisasi Islam tersebut, terhadap upaya-upaya kelompok-kelompok tertentu yang hendak mengganti dan mengubah Pancasila,” ujarnya.
Menggunakan metode penelitian analisis isi hermeneutika, Said menjelaskan, perbedaan pemahaman dan sikap Muhammadiyah dan NU atas Pancasila merupakan hasil penafsiran ayat Al-Quran yang juga berbeda. Muhammadiyah merujuk pada Al Quran Surat Saba’ ayat 15 “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” yang artinya: “sebuah negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah SWT”. Kalimat tersebut oleh Muhammadiyah ditafsirkan sebagai Negara Pancasila.
Sementara NU mengacu pada Al Quran Surat al-Baqarah ayat 30: “khalifah fil ardhi“. Menurutnya, kata “khalifah” ditafsirkan NU sebagai melaksanakan amanat Allah melalui NKRI dan Pancasila.
Disertasi Said juga menjelaskan pandangan Muhammadiyah dan NU mengenai jihad dan toleransi terhadap nonmuslim. “Dalam pandangan Muhammadiyah dan NU, jihad bukanlah diwujudkan dalam bentuk kekerasan, apalagi terorisme,” ujarnya.
Bagi Muhammadiyah, jihad adalah jihad lil-muwajahah. Yakni bersungguh-sungguh menciptakan sesuatu yang unggul dan kompetitif. Sedangkan bagi NU, jihad adalah sebagai mabadi’ khaira ummah. Yaitu bersungguh-sungguh mengutamakan kemaslahatan umat.
Sejak awal, ditambahkan, Muhammadiyah dan NU dikenal sebagai organisasi Islam yang toleran terhadap non-muslim. Bagi Muhammadiyah toleransi terhadap nonmuslim sebagai ‘ukhuwah insaniyah‘ (persaudaraan kemanusiaan). Sementara bagi NU, toleransi terhadap nonmuslim sebagai ‘ukhuwah wathaniyah‘ (persaudaraan kebangsaan).
Muhammadiyah dan NU, menurutnya, punya peran penting sebagai kekuatan civil Islam. Terutama dalam melakukan gerakan penyadaran dan perlawanan terhadap gerakan radikalisme, yang dianggap anti-demokrasi. Sekaligus menyimpang dari ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin.
“Salah satu bentuk penyadaran dan perlawanan terhadap gerakan radikalisme, adalah terus menciptakan narasi-narasi sebagai kontra-diskursus atas pemahaman para kelompok Islam radikal mengenai isu-isu radikalisme,” ujarnya. (rim)