KALEIDOSKOP 2020 – Sembilan bulan sudah Indonesia diserbu virus Corona (Covid-19). Timeline waktunya masuk Indonesia tidak jelas. Manusia pertama yang membawa virusnya tidak jelas.
Faktanya sampai saat ini tidak pernah ditemukan pemerintah. Tetiba pada 2 Maret silam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan adanya dua pasien Corona. Mereka pasangan ibu dan anak.
Konon mereka terinfeksi saat mengikuti pesta dansa. Anehnya yang tertular hanya mereka. Tamu lainnya tidak. Sejak itu Indonesia pun geger. Kegegeran itu sampai kini tak terpadamkan. Bagaimana tidak. Jumlah kasus positif terus melonjak tanpa ada tanda-tanda menurun. Wilayah lonjakan kasus pun berpindah-pindah.
Sampah hitam pagebluk (red. Wabah penyakit yang datang akibat kebodohan dan kesombongan manusia) Covid-19 di Indonesia, terlacak bersumber dari kesembronoan. Pun ketidakjujuran. Pun slengekan para pejabat publik.
Sebut saja, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Yang kini telah direshufle Presiden Jokowi. Digantikan Budi Gunadi Sadikin. Yang sebelumnya Wakil Menteri BUMN (2019-2020). Yang sebelumnya Direktur Utama Inalum (2017-2019). Yang sebelumnya Senior Advisor Menteri BUMN (2016–2017), Yang sebelumnya Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (2013–2016).
Kabar masuknya Covid-19 ke Indonesia, sebenarnya sudah disampaikan pada 11 Februari oleh sejumlah peneliti asing. Saat itu, Terawan dengan jemawa membantahnya. Mantan Dirut RSPAD Gatot Soebroto itu jutry menantang para peneliti tersebut. Untuk datang ke Indonesia. Dan, menunjukkan bukti masuknya virus pembunuh itu ke Indonesia.
“Ya, Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi,” ujar Terawan saat itu.
Kesombongan yang dilakukan Terawan diikuti menteri-menteri lain. Menko Polhukam Mahfud MD pada 15 Februari, misalnya. Ia mengutip kelakar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bahwa Covid-19 tak bisa masuk Indonesia. Sebab perizinannya berbelit-belit.
Sebelumnya pada 10 Februari, Menko Marves Luhut B Panjaitan berseloroh, corona sudah lama pergi. Selorohannya merujuk pada mobil sedan Toyota tipe Corona yang tak diproduksi lagi.
Sikap sama ditunjukkan pula oleh Menhub Budi Karya Sumadi pada 17 Februari. Dengan tawa guyonan, ia mengatakan, Covid-19 tak akan masuk ke Indonesia. Sebab setiap hari orang-orang di sini makan nasi kucing, sehingga kebal.
Sikap menyanggah atau menyepelekan yang dipertontonkan jajaran pemerintah ini, tak pelak lagi mengundang kritikan banyak pihak, terutama deretan ahli kesehatan. Dokter spesialis penyakit dalam yang juga Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, bantahan terhadap penyakit atau wabah bukan terjadi pertama kali di Indonesia.
Salah satu yang dicontohkan Zubairi Djoerban, adalah temuan kasus AIDS pertama di Indonesia. Meletuknya sekitar tahun 1980-an. Penyebaran virus mematikan yang belum ada obatnya itu, ditemukan menyebar dikalangan pelaku seks menyimpang. Seks sesama jenis. Kalangan Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT0. Saat itu beragam bantahan-bantahan serupa juga dilontarkan pemerintah yang dipimpin Presiden H.M. Soeharto.
“Ketika saya temukan kasus pertama AIDS (1983), Pemerintah saat itu menyangkal. Mereka bilang, orang Indonesia mustahil kena AIDS. Argumentasi mereka, Indonesia merupakan negara berbudaya dan agamis. Padahal tak ada hubungannya dengan itu. Situasinya mirip dengan Covid-19 saat masuk Indonesia. Pemerintah juga menyanggah,” kata Zubairi lewat akun Twitter miliknya pada 1 Desember 2020.
OPERASI GAGAP
Saat kasus pertama dan kedua diumumkan Jokowi pada 2 Maret, sontak terjadi kelangkaan masker. Pun cairan desinfektan. Itu terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya di perkotaan. Kalau pun ada, harganya selangit.
Kabar memprihatinkan masuknya Covid-19 itu dimanfaatkan para “penghianat bangsa”. Mereka merekayasa kelangkahan masker dan disinfektan, untuk memperkaya diri sendiri. Tak pelak lagi, masyarakat umum sulit mendapatkan barang vital tersebut.
Fakta yang terjadi di masyarakat itu, ironisnya tak langsung ditangani oleh pemerintah. Semua struktur pemerintahaan terlihat mulai serius mengangai Covid-19, setelah Jokowi meneken Keputusan Presiden (Keppres) tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat karena Covid-19 pada 31 Maret 2020.
Artinya antara tanggal 3 – 30 Maret, struktur pemerintah hanya diam. Tidak bereaksi. Hanya Pemprov DKI yang saat itu terlihat siap. Ini karena Gubernur Anies Baswedan sudah melakukan persiapan matang, dengan menyiapkan beragam skenario jika Covid-19 masuk Indonesia lewat Jakarta.
Salah satunya beberapa rapat koordinasi dengan DPRD DKI, BIN DKI, Dinas Kesehatan DKI, Dinas Sosial DKI, dan beberapa perusahaan farmasi yang ada di wilayah kerja DKI Jakarta.
Selain itu, Jokowi juga meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Beleid ini merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Aturan lain adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Dalam waktu nyaris bersamaan, mantan Wali Kota Solo itu juga menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dengan meneken Keppres Nomor 12 Tahun 2020. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi koordinator nasional dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Gugus Tugas ini kemudian diganti menjadi Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 20 Juli 2020 yang dipimpin Kepala BNPB Doni Monardo. Satgas ini menjadi bagian dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang dibentuk lewat Perpres Nomor 82 tahun 2020.
Komite elite tersebut dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Politikus Golkar itu didampingi beberapa wakil ketua. Yang terdiri dari Menkes Terawan, Menkeu Sri Mulyani, Menko Marves Luhut B Panjaitan, Menko Polhukam Mahfud MD, Menko PMK Muhadjir Effendy, serta Mendagri Tito Karnavian. Sementara yang ditunjuk Jokowi sebagai Ketua Pelaksana KPC-PEN ini adalah Menteri BUMN Erick Thohir.
Selanjutnya pada 5 Oktober 2020, Jokowi menekan Perpres Nomor 99 tahun 2020 tentang pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. Pada Perpres itu ditekankan tugas pengadaan diberikan kepada Menteri BUMN dengan memerhatikan kriteria dan penetapan vaksin dari Menkes. Sementara pelaksanaan vaksinasi dilakukan Kemenkes.
Pada saat itu, pemerintah tidak hanya membatasi pergerakan individu masyarakat. Juga, mengimbau perusahaan se-Indonesia untuk menerapkan sistem work from home (kerja dari rumah) untuk kegiatan perkantoran.
Kebijakan yang dilakukan Jokowi tidak hanya menerbitkan peraturan terkait skenario pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19. Alumni UGM Yogyakarta ini juga menggelontorkan beragam bantuan di masa pandemi Covid-19. Kebijakan itu skenarionya untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Mulai dari bantuan Prakerja, subsidi gaji sebesar Rp2,4 juta, hingga bansos corona.
Ironisnya program bansos Corona yang diputuskan Jokowi itu dikhianati Menteri Sosial Juliari Batubara. Politisi PDI Perjuangan – partai yang mengusung Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019 – itu diduga mendalangi skandal korupsi anggaran bansos Corona tersebut. Ia mengutip Rp10 ribu per paket bansos yang nilainya Rp300 ribu. Juliari telah ditetapkan tersangka oleh KPK pada 6 Desember 2020.
Untuk sementara dana kutipan itu ditengarai sebagai cara memperkaya diri sendiri. Namun, KPK kini mendalami. Melacak aliran dana kutipan itu. Sebab para pengamat menengarai dana kutipan itu mengalir ke kantong-kantong PDIP. Digunakan untuk membiayai kampanye para calon kepala daerah yang diusungnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020.
Sementara pada sektor pendidikan, pada 28 Mei 2020, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah. Menurut dia, sistem ini sebagai cara mencegah penularan Covid-19 di lingkungan pendidikan. (bersambung/berbagai sumber)