Bongkah.id – Di balik sunyinya lembah Jetis, Ponorogo, berdiri sebuah pondok pesantren legendaris, Pondok Pesantren Tegalsari. Didirikan dan diasuh oleh ulama kharismatik Kyai Ageng Hasan Besari, pesantren ini bukan hanya pusat ilmu agama, tetapi juga kawah candradimuka yang melahirkan tokoh-tokoh besar Nusantara. Salah satunya adalah Ronggowarsito, sang pujangga besar Jawa. Namun, ada satu nama lain yang tak kalah istimewa, yaitu Raden Mas Bagus Harun.
R.M Bagus Harun bukanlah pemuda biasa. Ia adalah putra Adipati Ponorogo pada abad ke-17. Namun status bangsawan tak menjadikannya tinggi hati. Justru, ia merendahkan diri menimba ilmu di bawah bimbingan Kyai Ageng Besari. Ketekunannya membuahkan kedekatan spiritual dan emosional hingga ia diangkat sebagai anak angkat oleh sang kyai.
Sejarah mencatat, saat Pakubuwono II mengalami kekacauan besar akibat pemberontakan Pecinan, harapan ditambatkan kepada Kyai Ageng Besari. Menyadari pentingnya misi tersebut, sang kyai mengutus R.M. Bagus untuk membantu meredam konflik di Kartasura. Ternyata, langkah ini tak sia-sia. Berkat kelihaiannya, Bagus Harun mampu mengembalikan stabilitas dan kejayaan kerajaan.
Atas jasanya, raja hendak menganugerahinya jabatan Adipati di Banten. Namun, tawaran itu dengan halus ditolak. R.M Bagus Harun memilih kembali ke pesantren, tempat jiwanya merasa damai, untuk melanjutkan pengabdiannya kepada sang guru.
Pakubuwono II, meski kecewa, tetap menghormati keputusan itu. Ia mengizinkan Bagus Harun pulang, dengan membawa dua simbol kehormatan kerajaan, yaitu songsong (payung kebesaran) dan lampit (tikar kerajaan). Perlu dicatat, songsong ini bukanlah sembarang payung. Ia merupakan simbol kekuasaan sekaligus hak atas tanah merdikan, tanah bebas pajak, hadiah langsung dari raja.
Namun sesampainya di Tegalsari, Kyai Ageng Besari memberikan perintah yang tak lazim. Ia menyuruh Bagus Harun menenggelamkan songsong itu di Sungai Bang Pluwang, wilayah Nglengkong, Sukorejo, Ponorogo. Lalu, ia harus menyusuri sungai hingga menemukan kembali payung tersebut, dan di tempat itulah ia diminta mendirikan masjid serta menyebarkan ajaran Islam.
Perjalanan spiritual pun dimulai. Waktu demi waktu berlalu, dan akhirnya, R.M Bagus Harun menemukan songsong tersebut di suatu tempat yang kemudian ia namai Sewulan, kini masuk wilayah Kabupaten Madiun. Di sana, ia membangun masjid dan menjadi imam pertamanya, meneruskan jejak gurunya. Sejak saat itu, ia dikenal masyarakat sebagai Kyai Ageng Besari Sewulan.
Namun misteri masih menyelimuti nama “Sewulan”. Ada yang percaya nama itu berasal dari waktu pencarian yang memakan seribu bulan (sewu wulan), setara 83 tahun, meski secara logika perjalanan itu terasa terlalu panjang. Pendapat lain menyebutkan nama itu bermakna sewu lan atau seribu lebih, mengacu pada waktu sekitar 2,5 tahun. Sementara versi spiritual menyebut “sewu wulan” berkaitan dengan malam Lailatul Qadar di bulan Ramadan, malam yang diyakini lebih baik dari seribu bulan, di mana songsong itu ditemukan.
Kini, desa Sewulan bukan hanya sebuah titik di peta Madiun. Ia adalah saksi dari kisah pengabdian, kesetiaan, dan spiritualitas seorang murid terhadap gurunya. Di balik sunyi desa itu, terpendam cerita tentang songsong kerajaan yang menuntun lahirnya cahaya Islam di bumi timur Jawa. (ima/sip)