Sujini melihat keris milik pelanggannya./bongkah.id/Karimatul Maslahah/
Sujini melihat keris milik pelanggannya./bongkah.id/Karimatul Maslahah/

Bongkah.id – Di sebuah sudut Pasar Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung, Jombang, aroma sabun colek dan air kelapa bercampur lembut dengan wangi logam tua. Di bawah tenda sederhana, tangan Sudahri (55) dan istrinya, Sujini (52), tak berhenti bergerak. Di hadapan mereka, belasan keris dan tombak pusaka dari berbagai kota menunggu giliran untuk dimandikan, diperlakukan layaknya benda bertuah yang menyimpan sejarah panjang.

Bulan Suro datang, dan bersamanya datang pula berkah tahunan bagi pasangan asal Desa Mojotrisno ini. Sudah lebih dari dua dekade mereka menjalani usaha jasa pencucian pusaka. Namun, tiap kali bulan Suro tiba, ritme pekerjaan mereka berubah drastis. Dari biasanya hanya 10 pusaka per hari, kini bisa mencapai lima kali lipat.

ads

“Biasanya sehari cuma 10 pusaka. Tapi pas masuk Suro, bisa sampai 50-an. Hari ini saja sudah 52 pusaka dari Jombang, Mojokerto, sampai Surabaya,” ujar Sudahri, Kamis (26/6/2025). Wajahnya berseri, meski tangannya terus sibuk menggosok permukaan keris.

Peningkatan permintaan ini bukanlah fenomena baru. Dalam budaya Jawa, bulan Suro dikenal sebagai waktu yang sakral, saat terbaik untuk merawat benda-benda pusaka warisan leluhur. Bukan sekadar membersihkan debu, tapi juga untuk menyelaraskan energi dan menjaga tuah agar tetap “hidup”.

“Pusaka itu bukan cuma benda. Ada energinya. Suro itu waktu yang pas buat nyelarasinya,” jelasnya.

Proses pencucian dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Air bersih menjadi langkah awal, dilanjutkan dengan gosokan halus menggunakan larutan jeruk nipis dan sabun colek. Setelah itu, bilah pusaka direndam dalam air kelapa untuk menetralisir energi buruk dan menyegarkan logam. Tahap terakhir, pewarangan, merendam pusaka ke cairan rahasia keluarga menjadi momen paling sakral. Cairan itu bukan racikan sembarangan.

“Ramuan warangan ini resep keluarga, bukan beli. Sudah turun-temurun,” tambah Sudahri, sambil mengangkat sebilah keris berpamor yang berkilau.

Tarif jasa cuci pusaka ini pun bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per bilah, tergantung jenis dan kondisi pusaka. Namun bagi pasangan ini, uang bukan segalanya. Dalam sehari mereka bisa mengantongi omzet hingga Rp 2,5 juta, tetapi yang mereka jaga bukan hanya pemasukan, melainkan tradisi.

“Yang penting saya bisa bantu orang jaga warisan leluhur. Itu yang bikin saya bangga,” ucap Sudahri dengan senyum yang tak dibuat-buat.

Di tengah riuhnya modernitas, tempat kecil ini menjadi saksi bahwa tradisi Jawa belum punah. Masih ada tangan-tangan yang merawatnya, dan bulan Suro pun tak kehilangan maknanya bagi pusaka, maupun mereka yang menjaga keberadaannya. (Ima/sip)

2

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini