Bongkah.id – Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 kembali menjadi pro kontra elit. Tak sedikit yang mendesak penundaan, tapi yang mendukung pesta demokrasi memilih pemimpin daerah tetap diglar 9 Desember 2020, lebih mayoritas.
Lembaga riset, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, salah satu pihak yang berada di kelompok mayoritas ini. Menurut lembaga ini, ada tujuh alasan logis kenapa pilkada harus dilaksanakan sesuai jadwal.
“Alasan ini berdasar penelitian kualitatif dengan kajian data sekunder dari tiga lembaga, yaitu Gugus Tugas Covid-19, Worldometer, dan WHO,” kata peneliti LSI Denny JA, Masloman, Kamis (24/9/2020).
Ikrama menerangkan, pilkada di masa pandemi, perlu mencapai tiga hal sekaligus. Yaitu tetap memberikan hak konstitusional warga negara memilih kepala daerah sesuai jadwal.
“Kemudian sekecil apa pun menggerakkan ekonomi masyarakat, dan mengontrol penularan Covid-19 secara optimal,” ujarnya.
Untuk itu, alasan kenapa pilkada tidak boleh ditunda lagi, pertama menyangkut legitimasi pemimpin daerah. Pasalnya, sebanyak 270 daerah di Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt), jika pilkada kembali ditunda.
“Ada 209 kepala daerah yang selesai masa jabatan. Legitimasi Plt. tentunya berbeda dengan kepala daerah yang dipilih rakyat. Kewenangannya pun terbatas,” ujar Ikrama.
Semula, Pilkada akan digelar 23 September. Namun karena pandemi Covid-19, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu untuk menunda seluruh pilkada hingga pencoblosan yang dilaksanakan 9 Desember 2020.
Kedua, terkait proporsi penyebaran virus corona di 270 daerah penyelenggara Pilkada serentak 2020. Dari 270 daerah, hanya 44 wilayah atau 16,3% yang masuk zona merah.
“Ketiga, alasan kepastian hukum dan politik. Kalau pilkada kembali ditunda sampai menunggu vaksin dapat digunakan masyarakat, maka ketidakpastian hukum dan politik semakin panjang,” tutur Ikrama.
Apalagi, lanjut Ikrama, para ahli kesehatan dunia bahkan WHO saja tidak bisa menjamin terciptanya obat atau vaksin yang bisa 100 persen menjamin pengobatan pasien Covid-19.
“Pemilihan kepala daerah di 270 wilayah (49 dari total wilayah indonesia) terlalu penting jika disandarkan pada situasi yang tak pasti,” ujarnya.
Keempat, menyangkut opsi kebijakan. Ikrama menjelaskan, dalam setiap situasi sulit atau krisis, setiap pemimpin punya pilihan kebijakan yang memang tidak mudah. Namun tetap harus diambil dengan mempertimbangkan semua aspek.
Alasan kelima adalah kesehatan. Ikrama menyebutkan, pemerintah atau penyelenggara pemilu hanya perlu memberlakukan aturan protokok kesehatan lebih tegas selama pelaksanaan tahapan pilkada. Utamanya di 44 wilayah yang masuk kategori zona merah.
“Misalnya tidak boleh ada kampanye yang membuat publik berkumpul lebih dari lima orang dan sebagainya,” cetus Ikrama.
Keenam, alasan ekonomi. Pilkada harus tetap dilaksanakan sesuai jadwal mengingat kondisi ekonomi masyarakat sedang merosot. Secara nasional, perekonomian sudah mencapai minus 5,32% dan 3,5 juta pekerja telah di PHK dan dirumahkan.
“Kegiatan pilkada dan kampanye di 270 wilayah dapat menjadi penggerak ekonomi lokal. Biaya kampanye, biaya saksi, biaya tim sukses, biaya cetak, dan pemasangan atribut dan lain-lain dapat bergulir ke masyarakat bawah dan daerah,” tuturnya.
Alasan terakhir, yakni modifikasi bentuk kampanye. Ikrama mencontohkan Amerika Serikat yang tidak menunda pemilu, melainkan memodifikasi bentuk kampanye, yaitu kampanye dan pertemuan yang menghimpun orang banyak harus dihindari.
Berdasarkan tujuh alasan itu, lanjut Irama, pilkada di 270 wilayah sebaiknya jangan ditunda lagi. Hanya, kegiatan pilkada memang perlu dimodifikasi dengan menghindari kegiatan yang menghimpun orang banyak.
“Terapkan peraturan yang keras bagi pelanggar protokol kesehatan. Dimulai dari teguran tertulis, denda uang, hingga calon kepala daerah didiskualifikasi dari peserta pilkada,” katanya. (bid)