
Bongkah.id — Di sela deru kendaraan dan celoteh tawar-menawar di Pasar Tradisional Tanjung Anyar, Kota Mojokerto, sebuah mesin jahit tua masih setia berdengung. Ismail (49), warga Lengkong, Mojokerto, tekun menunduk menatap jarum yang menari di atas kain seragam.
“Dulu setelah lulus SMA langsung diajak oleh Bapak sekitar tahun 1960-an, sampai saat ini,” kata Ismail sambil merapikan potongan kain batik, Kamis (24/7/2025).
Profesi sebagai penjahit seragam telah ia jalani puluhan tahun, diwariskan dari sang ayah yang lebih dulu merintis usaha di pasar yang sama.
Memasuki tahun ajaran baru, kios kecilnya kembali ramai pesanan. “Alhamdulillah cukup banyak order di tahun ajaran baru ini. Satu hari bisa jahit jadi satu sampai dua stel, per stel kurang lebih Rp150 ribu untuk seragam,” jelasnya.
Kebanyakan pesanan datang untuk seragam batik dan seragam Pramuka. Ismail paham betul, kebutuhan ini datang berulang setiap tahunnya. Namun untuk seragam putih-merah maupun hijau-putih, Ismail harus rela kalah bersaing dengan toko jadi.
“Kalau seragam hijau putih dan merah putih kebanyakan orang beli jadi di toko karena harganya lebih murah dan sudah terima jadi,” ungkapnya.
Meski begitu, tangan terampilnya tetap tak kehilangan peminat. Bagi beberapa orang tua, jahitan Ismail menawarkan ukuran yang pas dan kualitas yang lebih rapi.
“Kalau pakai seragam jahitan lokal, anak lebih nyaman, enggak kegedean atau kekecilan,” ujar salah satu pelanggan yang tengah menunggu pesanan.
Di tengah gempuran pakaian seragam pabrikan, Ismail tetap percaya satu hal, jarum yang menari, suara mesin jahit, dan tangan yang sabar merenda benang masih akan selalu punya tempat di hati sebagian orang, terutama di pasar tradisional yang menua bersama cerita para penjahitnya. (Ima/sip)