Bongkah.id – Suara gamelan di Sanggar Kerto Kerti Kencono Putri Dusun Pacarikan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto mengalun pelan, membelah hening di sela bisik angin. Di sanalah, tradisi Tutupan Suro kembali digelar, menandai syukur masyarakat Jawa pada bumi Pertiwi, alam semesta, dan leluhur yang telah menurunkan kearifan hidup.
Tahun ini menjadi tahun ke-9 Sanggar Kerto Kerti Kencono Putri menyalakan semangat “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Sebuah doa yang merangkai harapan, semoga bangsa ini tetap sejahtera, tenteram, dan dijauhkan dari mara bahaya.
Di balik panggung wayang dan gunungan sesaji, Kukun Tri Yoga Ketua pelaksana menjaga setiap detail rangkaian acara. “Kita menghormati bumi Pertiwi, alam semesta, dan berterima kasih sebagai orang Jawa. Bentuk syukur kita ya lewat wayang ruwat dan kirab sesaji,” tuturnya, Kamis (23/7/2025).
Pada kegiatan tersebut, warga tampak berbondong-bondong membawa gunungan jajan pasar, tumpeng ayam jago putih, hingga bubur sengkolo, melambangkan penolak balak yang diwariskan para leluhur.
Tiga hari rangkaian ritual dijalankan tanpa alpa. Hari pertama dibuka dengan khotmil Qur’an, doa lirih memohon keselamatan bersama. Keesokan harinya, pusaka peninggalan masa silam dijamas, dimandikan, seolah membasuh ulang ingatan akan asal-usul. Lalu tibalah puncak prosesi kirab sesaji dari punden Pelabuhan Jetis menuju sanggar, diiringi derap langkah para pembawa pusaka Nogo Baruno, pusaka peninggalan Majapahit yang masih dijaga kesaktiannya.
“Gunungan dan sesaji yang kami kirab merupakan simbol harapan agar bumi pertiwi dapat tetap lancar, dan segala halangan dapat dijauhkan,” kata Kukun.
Wayang ruwat yang dimainkan, menjadi puncak hiburan sekaligus penawar sukma. Layar kain putih menari oleh bayangan tokoh pewayangan, kisah-kisah epik lahir kembali, disaksikan anak-anak muda yang duduk bersila di tanah.
Di ujung acara, larung sesaji di kali Marmoyo menjadi penutup penuh makna. Sesaji dihanyutkan ke sungai, mengalirkan doa-doa agar apa yang dikembalikan ke alam semesta, akan kembali menjadi berkah bagi manusia.
“Semoga generasi milenial dan Gen Z mau menerima budaya Jawa dengan setulus-tulusnya,” katanya, lirih namun mantap.
Tutupan Suro selesai. Tetapi di hati masyarakat Mojokerto, pesan untuk merawat harmoni dengan alam dan leluhur terus menetes, tak pernah benar-benar usai. (Ima/sip)