Bongkah.id – Kegaduhan selama ini bukan cuma soal selembar ijazah. Ini soal satu bangsa yang sedang belajar berjalan lebih cepat tapi selalu saja ditarik mundur oleh sekelompok orang yang tak siap kalah. Mereka ini disebut “Kaum Gagal Move On.” atau “Nasionalis Palsu”. Spesialis pembuat keruh kolam pembangunan.
Kamis, 22 Mei 2025 malam digelar konferensi pers di Mabes Polri. Polisi akhirnya menemukan bukti kuat tentang keaslian ijazah Presiden ketujuh, Joko Widodo yang disampaikan oleh Brigjen Polju Handani Raharjo:
“Dokumen formulir registrasi mahasiswa tahun ajaran 1980-1981, atas nama Joko Widodo tertanggal 8 Juli 1980 di arsip Fakultas Kehutanan UGM telah diuji secara laboratoris oleh Puslabfor yang dinyatakan, blanko adalah identik atau produk yang sama dengan pembanding telah dinyatakan keasliannya …”
Duarrr…!!
“Ternyata ijazah Pak Jokowi asli.” Yang meledak dari pengumuman itu bukan cuma mercon melainkan syaraf-syaraf para pembenci yang seketika kejang. Setelah puluhan purnama mereka menggelindingkan hoaks, kini mereka digulung balik oleh kenyataan yang disampaikan langsung oleh Mabes Polri. Lengkap, sahih, terverifikasi laboratoris. Ini bukan drama Korea, ini dokumen negara!
Lucunya, mereka mengaku membela rakyat. Tapi gaya dan narasi mereka lebih mirip agen korporasi asing yang gatal melihat Indonesia lepas dari jerat kolonialisme ekonomi. Apalagi setelah Jokowi dan kini Prabowo ngotot dengan proyek hilirisasi nikel, bauksit hingga listrik berbasis sumber daya domestik. Eh, tiba-tiba begitu rame media yang dibekingi George Soros menyerang dari segala arah. Why?
PROXY WAR
Lihatlah benang merahnya ketika Indonesia menghentikan ekspor bahan mentah demi meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, muncul para penggonggong demokrasi yang teriak “otoriter”, “nepotis”, “inkonstitusional”. Sementara di belakang layar, ada dana besar dari lembaga-lembaga internasional yang merasa dirugikan.
Ngaku ajalah … siapa yang disponsori NGO luar negeri tapi hobinya bilang “pemerintah anti kebebasan.”
Bukankah itu mirip proyek “proxy war” gaya baru? Lewat media framing, buzzer akademik, aktivis pesanan, ekstrimis kanan, mereka giring opini agar rakyat percaya bahwa pemerintah ini dzolim. Bahwa krisis ekonomi karena Jokowi. Bahwa Prabowo bakal jadi tiran. Jikalau stabilitas terganggu, yang pertama lari bukan rakyat tapi investor. Bila tidak ada investasi, ekonomi ambruk, siapa yang diuntungkan? Kita? Jelas bukan.
Mengganggu stabilitas bukanlah bentuk keberanian, itu kebodohan. Apalagi jika dilakukan demi pamrih politik dan popularitas instan. Aktivis macam ini ibarat juru masak yang kebanyakan garam, pikirannya asin mulutnya pahit.
Saat polisi menyatakan ijazah Jokowi itu asli, kita saksikan wajah-wajah seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, Eggy Sudjana, Tifa, Kurnia Tri Royani dan rekan-rekannya pucat pasi, serasa sedang dipanggil Tuhan. Panik, mules, stres. Ada yang kabarnya sudah beli sarung baru agar bisa tampil syar’i saat sidang.
Bagaimana pendapat rakyat? Mayoritas hanya bisa mengelus dada sambil berkata: “Mereka ini pengangguran yang mencari makan dengan membuat kerusuhan.”
Indonesia sedang evolusi. Memang tidak sempurna, tapi setahap demi setahap merangkak maju. Dalam 10 tahun terakhir kita lihat pembangunan infrastruktur, kedaulatan sumber daya hingga keberanian melawan tekanan asing. Semua itu butuh stabilitas. Butuh kedewasaan, bukan kegaduhan yang dijual atas nama demokrasi padahal itu proxy. (*)
Oleh
Rokimdakas
Penulis Jalur Bebas