
bongkah.id — Suara dan derai tawa anak-anak kembali membahana di halaman SDN 4 Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sejak erupsi Semeru mengguncang kehidupan mereka.
Sebanyak 30 anak pengungsi pagi itu berkumpul. Sebagian masih memegang boneka lusuh, sebagian lagi menggenggam tangan saudaranya. Beberapa jam, raut wajah mereka membayang ketakutan.
Di tengah udara dingin pegunungan, para Polwan Polres Lumajang Polda Jatim berdiri sambil tersenyum, berusaha memecah kebekuan emosional yang sudah berhari-hari menyelimuti anak-anak itu.
Bersama tim psikologi Universitas Brawijaya Malang, mereka mengajak para bocah bernyanyi, menari, dan bermain tebak-tebakan.
Perlahan-lahan, wajah tegang berubah menjadi senyum. Suara pelan berubah menjadi riuh tawa.
Di salah satu sudut halaman, seorang anak perempuan berusia delapan tahun, Nadia, tampak paling antusias. Rambutnya yang dikepang sederhana bergoyang saat ia melompat mengikuti permainan.
“Aku senang diajak main sama Bu Polisi. Tadi nyanyi, terus dapat snack juga. Jadi nggak takut lagi,” ujarnya lirih, tapi matanya berbinar.
Nadia adalah satu dari puluhan anak yang masih menyimpan ketakutan mendalam setiap kali mendengar suara keras. Trauma yang masih tertinggal dari malam saat Semeru memuntahkan awan panas dan membuat keluarganya harus berlari tanpa sempat membawa apa pun.
Kapolres Lumajang, AKBP Alex Sandy Siregar, memimpin langsung kegiatan ini. Ia menyadari betul bahwa luka paling dalam dari bencana sering kali tidak terlihat.
“Anak-anak adalah kelompok paling rentan. Kami ingin mereka merasa aman kembali, merasa tidak sendiri,” katanya sambil memperhatikan anak-anak yang tertawa dikelilingi Polwan.
Trauma healing, menurutnya, bukan sekadar permainan. Ini adalah upaya mengembalikan kepercayaan diri, kestabilan emosi, dan keberanian yang sempat hilang. Karenanya, kegiatan serupa akan terus dilakukan secara rutin di dua lokasi pengungsian aktif yaitu SDN 4 Supiturang dan SDN 2 Supiturang.
Di tengah kegiatan, beberapa anak tampak mulai saling menggandeng, saling memeluk, atau saling berbagi snack yang diberikan. Para psikolog dari UB Malang menyebut momen-momen kecil seperti itu sebagai tanda bahwa mereka mulai pulih.
Bermain bersama, kata mereka, adalah salah satu terapi paling efektif untuk menurunkan tingkat stres, depresi, dan kecemasan pada anak-anak setelah bencana.
Di barisan belakang, beberapa orang tua yang menyaksikan dari kejauhan tak dapat menyembunyikan rasa lega. Beberapa bahkan menyeka air mata ketika melihat anaknya tertawa lagi setelah sekian hari.
AKBP Alex memastikan pendampingan tidak berhenti sampai di sini. “Insya Allah kami akan terus hadir, mendampingi hingga mereka benar-benar pulih,” ujarnya.
Meski rumah mereka masih terkubur abu dan hari-hari masih dipenuhi ketidakpastian, setidaknya pagi itu anak-anak Supiturang mendapatkan kembali satu hal yakni tawa yang pernah hilang.
Dan di tengah bencana, terkadang satu tawa kecil saja bisa menjadi awal dari harapan yang lebih besar. (anto/wid)



























