by Prima Sp Vardhana/ bongkah.id
DRAF Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja versi baru mulai beredar di publik. Yakni versi 1.187 halaman. Jumlah draf UU Cipta Kerja yang diantarkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PP Muhammadiyah, Minggu (18/10/2020). Jumlah halaman versi itu, berbeda dengan yang diantar DPR RI pada kantor Kementrian Sekretariat Negara (Kemensesneg) pada 14 Oktober lalu. Draf yang diumumkan versi final itu berjumlah 812 halaman.
Dengan munculnya draf versi 1.187 halaman yang diterima MUI dan PP Muhammadiyah itu, membuat jumlah draf yang beredar di publik ada 6 versi. Pertama, draf versi 1.208 halaman yang diunggah di situs resmi DPR RI. Kemudian versi 905 halaman saat dibacakan dalam Sidang Paripurna DPR 5 Oktober. Lalu muncul kembali versi baru, yakni 1.052 halaman dan 1.035 halaman. Saat DPR menyerahkan naskah ke pemerintah pada 14 Oktober, Omnibus Law UU Cipta Kerja memiliki 812 halaman. Setelah masuk kantor Mensesneg Pratikno, naskah berubah lagi. Menjadi 1.187 halaman.
Fakta terjadinya pertambahan halaman pada draf UU Cipta Kerja yang dikirimkan DPR ke pemerintah, dengan yang dikirimkan Mensesneg Pratikno pada MUI dan PP Muhammadiyah itu, tak pelak lagi kian memperuncing kecurigaan publik. Ada sesuatu dalam UU Sapu Jagat itu. Sesuatu yang melahirkan beragam persepsi. Mungkin untuk merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha. Atau sebaliknya. Dapat juga untuk menguntungkan pengusaha tambang batu bara, sebagaimana kecurigaan yang berkembang selama ini. Namun, dapat juga untuk membuat UU Cipta Kerja itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) saat uji materi dan uji formal yang dilakukan masyarakat.
Karena itu, MUI sempat kaget saat menerima draf UU Cipta Kerja yang berjumlah 1.187 halaman itu. Namun, MUI hanya bisa menerima. Pun tersenyum. Sebab draf halaman yang dikirimkan Menteri Pratikno, berbeda dengan draf yang dikirimkan DPR ke pemerintah. Draf berjumlah 812 halaman yang diumumkan sebagai draf final.
“Naskah UU Cipta Kerja yang diberikan kepada saya oleh Bapak Menteri Pratikno berjumlah 1.187 halaman. Dapat satu paket. Satu yang hard copy dan satu yang soft copy. Belum ada tanda tangan Presiden Jokowi. Di halaman pertama sudah ada logonya,” kata Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi lewat sambungan telepon, Selasa (20/10/2020).
Muhyiddin tak terlalu mempersoalkan perbedaan halaman Omnibus Law UU Cipta Kerja terbaru yang diterimanya dari pemerintah. Sebab MUI sudah mempunyai lima draf versi lain yang beredar di publik. Karena itu, MUI akan mempelajari versi 1.187 halaman. Nantinya akan dibandingkan dengan, yang versi 812 halaman dan versi lainnya.
“Kami sudah membentuk tim. Paling cepat satu minggu. Nanti setelah satu minggu kita akan bahas yang 11 klaster itu. Finalnya nanti kita sampaikan ke DPR dan pemerintah,” katanya.
Pada tempat berbeda, Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga mengaku telah menerima naskah Omnibus Law UU Cipta Kerja dari pemerintah. Jumlah halamannya 1.187. Berbeda dengan naskah yang diberikan DPR ke pemerintah. Yang berjumlah 812 halaman.
“Naskah dikirim dalam format pdf 1.187 halaman. Bukan yang 812 halaman yang dikirimkan DPR pada pemerintah. Hanya ada kop pada halaman pertama. Kami akan mempelajari, membahas, dan membandingkan dengan versi lain yang sudah kami miliki,” ujar Mu’ti lewat pesan singkat, Rabu (21/10/2020).
Seusai MUI dan PP Muhammadiyah menerima draf UU Cipta Kerja versi 1.187 halaman itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkapkan perbedaan jumlah halaman usai DPR menyerahkan kepada pemerintah. Sebelumnya PKS sudah mendapatkan versi 812 halaman dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Juga, mendapatkan versi 1.187 halaman yang dibagikan Menteri Pratikno pada MUI dan PP Muhammadiyah. Perbedaan halaman itu disebut PKS, membuktikan adanya pasal selundupan usai naskah dipegang pemerintah.
Karena itu, PKS membentuk tim khusus mengkaji dugaan pasal selundupan dalam draf final UU Cipta Kerja. Tim itu dibentuk usai publik dihebohkan dengan perubahan jumlah halaman yang terjadi beberapa kali, setelah diketok DPR pada 5 Oktober. (bersambung)