bongkah.id – Prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah seharusnya fokus mengentaskan krisis kesehatan akibat penularan Covid-19 di Indonesia, yang telah mencapai tingkat darurat. Karena itu, penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020 harus ditunda sampai pandemi Covid-19 selesai. Menunda penyelenggaraan Pilkada justru akan berdampak baik dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaran di Indonesia.
Demikian Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siradj dalam keterangan resminya, Minggu (20/9/200).
Menurut dia, melindungi kelangsungan hidup manusia dengan protokol kesehatan sangat penting dilakukan. Kata dia, seharusnya prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan karena penularan Covid-19 di Indonesia telah mencapai tingkat darurat.
Karena itu, Said menegaskan, KPU RI, Pemerintah dan DPR RI untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada serentak tahun 2020. Pasalnya pelaksanaan Pilkada identik sebagai sarana memobilisasi dan melakukan konsentrasi banyak orang oleh kandidat. Sulit untuk menerapkan protokol kesehatan karena massa yang terkonsentrasi akan banyak dalam tiap tahapannya.
Melihat persoalan itu, Said berharap agar anggaran Pilkada bisa direalokasi untuk penanganan wabah corona bagi masyarakat. “Meminta untuk merealokasikan anggaran Pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial,” kata Said.
Selain itu, Said mengingatkan salah satu hasil rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama tahun 2012 di Cirebon. Rekomendasi itu, ditegaskan, perlunya meninjau ulang pelaksanaan Pilkada yang dinilai banyak menimbulkan kemudhorotan ketimbang manfaatnya bagi masyarakat.
“Salah satunya adalah politik uang dan politik biaya tinggi. Dua permasalahan itu merupakan sebuah fakta, tapi selama ini diingkari oleh peserta Pilkada,” ujarnya.
Usulan penundaan Pilkada kembali mencuat ke publik, setelah bercermin terhadap pelaksanaan masa pendaftaran pasangan calon Pilkada Serentak 2020. Tahapan tersebut turut diwarnai pelanggaran protokol Covid-19 oleh para kandidat dan simpatisannya.
Bawaslu mencatat 316 bakal pasangan calon di 243 daerah melakukan pelanggaran. Bahkan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKP) menyatakan menerima lebih dari 50 jenis petisi dari masyarakat yang meminta agar Pilkada 2020 ditunda.
Pada kesempatan berbeda, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengaku, menerima lebih dari 50 jenis petisi dari masyarakat. Isi semua petisi itu meminta Pilkada Serentak 2020 ditunda. Tak lepas dari pandemi virus corona yang belum usai.
Anggota DKPP Alfitra Salamm mengatakan kelompok masyarakat yang mengajukan petisi ingin pilkada ditunda hingga pandemi virus corona benar-benar berakhir.
“Bahkan Komnas HAM sudah mengeluarkan rekomendasi agar Pilkada serentak 2020 ini ditunda, karena menyangkut hak hidup masyarakat,” kata Alfitra saat menjadi pemateri di suatu diskusi daring, Jumat (18/9).
Alfitra sendiri menganggap usul penundaan pilkada sulit direalisasikan. Salah satunya karena biaya untuk pilkada akan membengkak jika ditunda kembali. “Selama Pandemi Covid-19 ini biaya Pilkada sudah membengkak 5 kali lipat. Kalau ditunda akan semakin besar lagi,” katanya.
“Kalaupun mau ditunda, itu hanya hari pencoblosannya saja (9 Desember). Tahapan-tahapan lainnya tetap berjalan seperti biasa,” tambahnya.
Pilkada dapat terus dilanjutkan, menurut dia, senyampang protokol kesehatan benar-benar diterapkan. Karena itu, pemerintah dan KPU harus tegas dalam menindak pelanggar protokol.
Jika tidak, desakan penundaan pilkada akan semakin menguat. Rakyat takut kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin meningkat. “Kuncinya protokol Covid saja. Bagaimana protokol Covid ini betul-betul harus dipatuhi,” katanya.(rim)