by Prima Sp Vardhana
SEJAK awal, Habib Bahar bin Smith menolak tawaran bebas bersyarat program asimilasi hukuman dari Presiden Joko Widodo. Argumentasi penolakannya saat itu, menghindari politisasi atas program asimilasi yang diterima. Juga tidak ingin “hutang budi” pada rezim pemerintahan saat ini. Ulama muda ini takut akan menghalangi dirinya menyampaikan kebenaran dan amar mahruf nahi munkar, setelah dia menyelesaikan masa hukumannya.
Selain itu, pendiri Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin di Kemang, Kabupaten Bogor, ini yakin, program asimilasi hukuman yang diterima akan digoreng para buzzer penguasa, yang anti pada prinsipnya dalam memperjuangkan amar mahruf nahi munkar. Gorengan para buzzer itu bukan kemuskilan merembet pada Ormas Islam FPI (Front Pembela Islam), Ormas Islam MPR (Majelis Pembela Rasulullah), dan umat Islam garis lurus di Indonesia yang berjuang menegakan amar mahruf nahi munkar di Indonesia.
Ulama kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu memprediksi, tidak hanya kalimat-kalimat hinaan dan cacian yang akan menghajarnya saat menerima program asimilasi hukuman itu. Hujan kalimat-kalimat fitnah yang memancing amarah pasti akan berguyuran.
Saat hujatan itu direaksi secara Islam, maka para buzzer itu dipastikan akan lapor pada kepolisian. Mereka merasa resah dan terancam. Selanjutnya, sebuah proses hukum yang memalukan bergulir sampai pengadilan. Dan, berakhir di penjara.
Ketakutan menerima dampak tidak terduga pasca menerima program asimilasi itu, maka ayah dari Maulana Malik Ibrahim bin Smith, Aliyah Zharah Hayat Smith, Ghaziyatul Gaza Smith, Muhammad Rizieq Ali bin Smith ini sejak awal sudah menyampaikan penolakan pada pengacaranya, Aziz Yanuar SH.
Dia tak ingin mendapatkan program asimilasi yang beraroma politik itu. Dia ingin menyelesaikan masa hukumannya di Lapas Pondok Rajeg, Cibinong, Kabupaten Bogor, secara wajar. Sesuai prosedur hukum yang berlaku. Menerima program bebas bersyarat, setelah menyelesaikan 2/3 masa hukumannya. Yang diyakini dirinya akan keluar penjara sesuai prosedur hukum, sekitar 12 November 2020 mendatang.
Namun, suratan takdir pria bernama Sayyid Bahar bin Ali bin Smith ini tak selaras dengan keinginan hatinya. Dia termasuk dalam daftar nama 39 ribu narapidara yang mendapatkan bebas bersyarat program asimilasi hukuman. Ini karena masa hukumannya sesuai dengan aturan yang tersurat dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020.
Ketentuan pemberian asimilasi itu harus memenuhi sejumlah ketentuan diantaranya, narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, serta Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsider dan bukan warga negara asing.
Sementara suami dari Fadlun Faisal Balghoits ini telah menyelesaikan 1/2 dari vonis Pengadilan Negeri Bandung atas kasus penganiayaan terhadap dua remaja santrinya, yang memalsukan diri sebagai Habib Bahar untuk menipu jamaah di luar Kabupaten Bogor.
Dia divonis penjara 3 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. Selain itu, 2/3 masa pidananya jatuh pada 12 November 2020. Karena itu, nama ulama muda ini masuk dalam daftar penerima program asimilasi hukuman, yang sesungguhnya tiak diharapkan.
“Saya sudah berusaha menolak masuk program asimilasi hukuman yang beraroma politik itu, Alhamdulilah takdir saya ditetapkan Alloh lain. Saya harus masuk dalam program asimilasi itu, karena telah menyelesaikan separoh dari masa hukuman dari vonis PN Bandung sebagaimana syarat asimilasi dalam Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020,” kata Habib Bahar bin Smith sebagaimana ditirukan kuasa hukumnya, Ichwan Tuanakotta saat dihubungi ponselnya, Kamis (14/05/2020).
MAXIMUM SECURITY
Sebagaimana diketahui, Habib Bahar bin Smith bebas dari Lapas Pondok Rajeg pada Sabtu (16/05/2020) siang. Dia dijemput oleh pengacara Aziz Yanuar dan Ketua PA 212 Slamet Maarif. Juga beberapa orang lainnya.
Dia langsung menuju kediamannya di Pondok Pesantren Tajul Aliwiyin kawasan Kampung Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kedatangannya disambut banyak orang. Terutama para santri yang selama ini menuntut ilmu di pondok pesantrennya.
Para penyambut Habi Bahar itu dinilai pemerintah tidak mematuhi imbauan physical distancing sebagaimana aturan PSBB. Tidak ada yang menjaga jarak satu sama lain. Juga tidak memakai masker. Karena itu, dia mendapat peringatan dari petugas pemasyarakatan.
Pasalnya dia langsung menggelar ceramah agama tentang “Kebebasan Beribadah Dalam Lapas” yang isinya sangat memotivasi jamaah, untuk meningkatkan ibadahnya lebih baik dari ibada para penghuni Lapas.
“Setelah kejadian itu, saya perintahkan petugas (pemasyarakatan) untuk menelepon yang bersangkutan. Mengingatkan bagaimana pencegahan Covid-19 saat masa PSBB, jadi tidak boleh mengumpulkan massa yang banyak,” kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Abdul Aris, Senin (18/5/2020) dikutip dari Antara.
Nasehat Aris agar Habib Bahar tidak mengumpulkan massa yang banyak, pengajian dakwah agama, ternyata tak dapat dipatuhi. Pengurus Ponpes Tajul Aliwiyin tak mampu menolak jamaah yang datang dengan sendirinya, setelah mendapat kabar Habib Bahar pulang dari penjara.
Para jamaah ingin silahturahim. Aturan protokol PSBB juga sudah disampaikan pada para jamaah. Sebagian sudah memakai masker. Namun, karena luapan jamaah tak terbendung, maka jamaah pun duduk berdesakan. Dus, membuka maskernya lantaran pengab kesulitan menghirup oksigen.
Berdasar tidak mampunya Habib Bahar dan Pengurus Ponpes Tajul Aliwiyin menolak para jamaah silahturahim dan menyebabkan pengumpulan banyak massa itu, maka Selasa (19/05/2020) dini hari pukul 02.00 pasukan dari Polda Jabar bersenjata lengkap datang.
Mereka menjemput Habib Bahar untuk kembali masuk penjara. Dia dinilai melanggar program asimilasi hukuman. Ini karena dituduhkan melanggar aturan PSBB. Juga, dijeratkan pasal provokasi terkait isi ceramahnya yang meresahkan masyarakat, yang sampai pelaksanaan penjemputan tidak ada pelapor terkait tuduhan ceramahnya meresahkan masyarakat. Padahal pasal tersebut secara hukum merupakan delik aduan.
“Alasan penangkapan kembali Habib Bahar, karena melakukan pelanggaran khusus dalam pelaksanaan asimilasinya. Pelanggaran khusus itu antara lain kegiatan bersangkutan yang meresahkan masyarakat dari video ceramah provokatif di media sosial,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti melalui sambungan telepon, Selasa (19/05/2020).
Pelanggaran lainnya, tambahnya, mengumpulkan banyak orang saat berceramah. Hal itu melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jemaah yang hadir pun tidak ada yang menjaga jarak satu sama lain. Selain itu, tidak memakai masker.
Berdasarkan hal tersebut, Rika menerangkan, pihaknya mencabut asimilasi yang diperoleh Bahar sebelumnya. Mantan terpidana kasus kekerasan terhadap anak itu harus menjalani sisa masa pidana di Lapas Gunung Sindur, karena telah melanggar syarat khusus asimilasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat 2 huruf e Permenkumham Nomor 3 tahun 2018 dan kepadanya dicabut asimilasi. Selanjutnya diperintahkan untuk dimasukkan kembali ke dalam Lembaga pemasyarakatan untuk menjalani sisa pidana dan sanksi lain sesuai ketentuan.
Pencabutan SK Asimilasi Bahar dilakukan oleh Kepala Lapas Cibinong, yang pada tanggal 15 Mei 2020 telah mengeluarkan SK Asimilasi Nomor: W11.PAS.PAS11.PK.01.04-1473 Tahun 2020. Pencabutan SK Asimilasi dilakukan berdasarkan hasil penilaian PK Bapas Bogor yang melakukan pembimbingan dan pengawasan terhadap Bahar.
Sedangkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Khusus Kelas llA Gunung Sindur, Mulyadi saat dihubungi, membenarkan Habib Bahar diantar oleh petugas Kementerian Hukum dan HAM beserta Kepolisian Bogor, Jawa Barat, sekitar pukul 03.00 WIB. Dia ditempatkan di Blok A kamar 1.4 dengan tingkat keamanan super ketat atau high risk. Penempatan kamar khusus itu, karena Bahar dinilai melanggar beberapa ketentuan.
Kendati demikian, Mulyadi tidak menyebutkan secara detail berapa lama lagi Bahar akan ditahan di Rutan Gunung Sindur. Demikian pula tak tahu menahu akan berapa lama penempatannya di ruang yang terkategori isolasi rutan tersebut.
“Kami hanya dititipkan oleh Kakanwil. Kami diperintahkan untuk ditaruh di ruang isolasi, yaitu di blok A yang kategorinya kamar berisiko tinggi, kamar khusus lah. Soal pelanggarannya apa, kami enggak tahu. Sebelumnya di Cibinong, terus saat ini dititipkan di tempat kita,” katanya.
Sementara Imam Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta Habib Muchsin Alatas sempat mengunggah status berisi pesan singkat dari Bahar ihwal penangkapannya. Bahar mengaku menulis pesan itu saat dalam perjalanan menuju lapas.
Dalam pesan singkat, Bahar mengaku dijemput pada pukul 02.00 WIB untuk kembali masuk tahanan. Dia tidak dibawa ke Lapas Pondok Rajeg, Cibinong, tempat sebelumnya ia menjalani masa hukuman, melainkan ke Lapas Gunung Sindur.
“Karena ceramah saya waktu malam saya bebas. Alhamdulillah saya kembali dipenjara, sehingga tidak punya hutang budi pada rezim pemerintah,” kata Bahar lewat pesan singkat pada Habib Muchsin Alatas. (*)