bongkah.id – Cepat atau lambat, Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu pasti terjadi. Fakta itu tercermin dari gerak cepat Menko Polhukam, Mahfud MD dalam melaksanakan instruksi Presiden Joko Widodo. Tugas untuk membentuk tim perumus Revisi UU ITE tersebut, Kamis (18/2/2021).
Sehari pasca pengumuman penunjukan tersebut, ternyata Mahfud MD telah mengumumkan, bahwa dirinya telah membentuk dua tim guna menindaklanjuti opsi revisi UU ITE yang ditugaskan Jokowi. Kedua tim tersebut akan mulai bekerja pada Senin, 22 Februari 2021.
“Kemenko Polhukam yang mendapat tugas menyelesaikan masalah UU ITE yang mengandung muatan. Pertama, perbuatan kriteria implementatif agar tidak terjadi Pasal karet. Kedua, mempelajari dilakukannya revisi atas UU ITE. Atas tugas tersebut, Kemenko Polhukam membentuk dua tim,” kata Mahfud lewat video yang dibagikan ke media, Jumat (19/2/2021).
Menurut dia, dua tim yang dibentuk itu tugasnya berbeda. Selain itu, untuk mempersingkat waktu agar naskah revisi dapat segera dipelajari Presiden Jokowi. Pun dapat segera diajukan ke DPR RI untuk dipelajari, disempurnakan, disahkan, dan dikembalikan pada pemerintah untuk segera diteken presiden dan diundangkan Menkumham.
Tim pertama, dikatakan, bertugas membuat interpretasi yang lebih teknis dan memuat kriteria implementasi dari Pasal-pasal yang dianggap karet. Tim tersebut akan bekerja sama dengan kementerian lain, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Sementara tim kedua, bertugas merencanakan revisi UU ITE. Tugas tersebut terkait adanya gugatan yang menilai UU ITE mengandung Pasal karet, diskriminatif, membahayakan demokrasi, dan banyak digunakan oleh kelompok yang merasa pembela pemerintah untuk digunakan menggugat para pengritik kebijakan pemerintah, yang sebenarnya sangat digadang-gadang Presiden Jokowi.
Diakui mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, kedua tim tersebut dalam melaksanakan tugasnya akan melibatkan partisipasi warga. Karena itu, pemerintah akan mengundang pakar hukum, PWI, para ahli, LSM, dan gerakan pro-demokrasi. Pihak-pihak terkait iut akan akan berdiskusi. Membahas perlu tidaknya untuk dilakukan revisi terhadap UU ITE.
Sebelumnya, Jokowi juga meminta Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo untuk membuat pedoman interpretasi terhadap Pasal-pasal yang terkandung dalam UU ITE. Langkah tersebut perlu ditempuh, karena ada beberapa pasal dalam UU ITE yang multitafsir. Tidak hanya itu, Jenderal Sigit juga diminta selektif dalam menerima laporan masyarakat, yang menggunakan pasal karet dalam UU ITE tersebut.
Seiring penugasan yang disampaikan Jokowi, Jenderal Sigit dalam konferensi pers usai Rapim TNI-Polri mengakui, adanya pasal-pasal dalam UU ITE berpotensi dipakai untuk mengkriminalisasi.
“Dalam rangka untuk menjaga agar penggunaan pasal-pasal yang dianggap pasal karet di dalam UU ITE yang berpotensi digunakan untuk melaporkan atau saling lapor atau lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan dengan UU ITE ini, Polri akan berusaha menekan, mengendalika, dan menetralisir,” kata Listyo.
Karena itu, Sigit mengaku bakal memerintahkan jajarannya. Bersikap lebih selektif menerapkan pasal dalam UU ITE tersebut dalam proses penegakan hukum. Ia menjanjikan, polisi bakal lebih mengedepankan langkah edukasi dan persuasi. Sehingga semua permasalahan hukum terkait pasal-pasal karet UU ITE diselesaikan diluar pengadilan. Lewat saling tabayun untuk musyawarah mufakat, dengan Polri sebagai mediator.
Selain itu, Jokowi sempat menginstruksikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyiapkan revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 yang memuat ITE tersebut.
Tapi di sisi lain, mengemuka pula ide berupa penyusunan interpretasi resmi UU ITE dari Jokowi. Sejumlah pakar mempertanyakan kekuatan hukum dari pedoman interpretasi pasal UU ITE tersebut.
Sebelumnya Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyatakan, sedikitnya ada sembilan Pasal bermasalah yang perlu direvisi atau dihapus dari UU ITE. Wacana itu sebagai respon Damar terhadap rencana Mahfud MD melaksanakan revisi UU ITE.
Wacana setidaknya ada sembilan pasal bermasalah itu diunggah Damar di akun Twitter miliknya. Yang isi cuitannya, “Prof @mohmahfudmd saya usul mulai dari 9 pasal bermasalah UU ITE ini. Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus, karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum. Selain itu ada juga pasal-pasal lain yang rawan persoalan/disalah gunakan dan perlu diperbaiki rumusannya”.
Adapun Pasal karet UU ITE yang menurut SAFEnet perlu direvisi, karena multitafsir dan menimbulkan dampak sosial adalah:
1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
RENCANA MENCURIGAKAN
Pada kesempatan berbeda, analis Politik Exposit Strategy Arif Susanto mensinyalir. wacana revisi UU ITE mengemuka hanya sebatas alat pencitraan pemerintah. Kecurigaan itu muncul, karena gagasan revisi UU ITE mencuat di tengah terpaan pelbagai kritik dari dalam negeri dan internasional.
Salah satu yang terbaru, hasil survei The Economist Intelligence Unit (EIU) yang mengumukan indeks demokrasi Indonesia mengalami penurun. Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara dunia. Merosotnya indeks demokrasi tersebut bersamaan dengan bergulirnya pelbagai kritik, mengenai kebebasan berpendapat dari publik di dalam negeri.
“Kita layak curiga terhadap pernyataan Presiden Jokowi mengenai pentingnya revisi UU ITE sebagai alat pencitraan politik. Mengapa demikian, karena sebelumnya ada sorotan dunia internasional dan kritik publik yang nyaris menunjukkan, bahwa pemerintah tak mampu membuat capaian yang baik,” kata Arif dalam diskusi virtual bertema ‘Revisi UU ITE: Setelah Korban Berjatuhan‘, Jumat (19/2/2021).
Menurut dia, setidaknya ada dua kritik dari dunia internasional yang mungkin jadi pertimbangan Jokowi untuk mencari cara mengamankan citra. Selain laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), yang menyatakan indeks demokrasi Indonesia mencatatkan skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Ada pula angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang juga anjlok ke posisi 102 dari 180 negara.
“Kalau kita pertanyakan, apa capaian pemerintah yang bisa dibanggakan dalam 1,5 bulan terakhir, hampir tak ada. Yang ada justru malah kritik-kritik,” katanya.
Tidak hanya itu, Arif juga mencurigai, kabar revisi UU ITE itu merupakan bagian dari barter politik. Diprediksi ada kemungkinan revisi UU ITE akan menggeser RUU lainnya, yang telah dipastikan masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
“Kita patut khawatir rencana revisi UU ITE ini menjadi bagian dari barter politik. Juga mesti diwaspadai. Ada kemungkinan revisi UU ITE ini masuk Prolegnas, membuat RUU lain yang lebih dibutuhkan masyarakat akan didrop dari Prolegnas Priorita 2021.
Di tempat berbeda, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mencurigai dilakukan Revisi UU ITE itu sebagai bagian pencitraan belaka. KontraS menganggap kabar revisi UU ITE muncul, semata untuk menyelamatkan citra pemerintah lantaran kerap kali secara paksa mempidanakan orang-orang yang kritis. (rim)