bongkah.id – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali panen uji materi (judicial review). Undang-undang yang menjadi ladang panen uji materi dan uji formil itu, adalah Omnibus UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI dalam rapat paripurna pada 5 Oktober lalu. Jumlah gugatan yang masuk sampai Sabtu (17/10/2020), dilakukan oleh lima orang. Penggugat berharap MK membatalkan UU Cipta Kerja seluruhnya.
Berdasarkan data yang tercantum dalam situs MK, permohonan uji materi itu diajukan oleh Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi. Kelimanya yaitu karyawan swasta Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas, pelajar Novita Widyana, serta tiga orang mahasiswa Elin Dian Sulistyowati, Alih Septiana, dan Ali Sujito.
Dalam website resmi MK, tercantum status Novita Widyana sebagai siswi SMK Negeri 1 Ngawi, Jawa Timur. Ia mengajukan permohonan uji materi terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. Ada pun penggugat atas nama Elin Dian Sulistiyowati adalah mahasiswi Universitas Brawijaya Malang, Alin Septiana adalah mahasiswi Universitas Negeri Malang, dan Ali Sujito adalah mahasiswa STKIP Modern Ngawi.
Sementara Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas menyebut dirinya sebagai mantan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kelima penggugat didampingi oleh beberapa kuasa hukum. Dalam website resmi MK permohonan tersebut bernomor APPP Nomor 2039/PAN-PUU.MK/2020 dan masih tercatat sebagai permohonan awal.
Dalam permohonan tertanggal 15 Oktober itu, penggugat belum mencantumkan nomor undang-undang yang dimintakan untuk diuji oleh MK. Namun, permohonan uji formil diajukan, karena pembentukan UU Cipta Kerja dinilai tidak sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut penggugat, UU Cipta Kerja melanggar sistematika penyusunan peraturan perundang-undangan. Karena itu, menimbulkan interpretasi tumpang tindih yang menyebabkan kebingungan masyarakat.
Para pemohon mendalilkan pembentukan undang-undang itu, tidak dilakukan secara terbuka. Hanya melibatkan sedikit organisasi buruh. Selain itu, mempersoalkan Badan Legislasi mengatakan, RUU Cipta Kerja sebanyak 905 halaman yang disahkan DPR bersama Presiden pada 5 Oktober 2020 belum final dan sedang difinalisasi. Setelah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, para pemohon menyebut terjadi dua kali perubahan menjadi 1035 halaman dan kemudian menjadi 812 halaman.
“Adanya perubahan substansi terhadap suatu RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden, adalah melanggar tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujar para pemohon dalam permohonannya.
Sebelumnya, sudah ada permohonan yang diajukan ke MK. Permohonan pertama diajukan oleh karyawan kontrak bernama Dewa Putu Reza dan pekerja lepas Ayu Putri dengan nomor tanda terima 2034/PAN.MK/X/2020. Kedua pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 59, Pasal 156 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 79 Ayat (2) huruf b dan Pasal 78 Ayat (1) huruf b klaster Ketenagakerjaan UU Ciptaker.
Kedua pemohon mengajukan permohonan uji materi untuk tiga hal dalam UU Ciptaker. Meliputi soal penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), penghapusan ketentuan minimal dalam memberikan pesangon, serta penghapusan ketentuan istirahat mingguan dan penambahan waktu jam lembur yang mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil bagi para pekerja. (ima)