by Prima Sp Vardhana/bongkah.id
PADA 1 Desember 2005, Pollycarpus dituntut penjara seumur hidup. Namun pada sidang yang digelar pada 18 November 2005, Polly bersaksi tidak pernah mengontak Munir sebelum penerbangan. Sementara komunikasi untuk tukar tempat duduk saat di atas pesawat, diakui, sekadar basa basi. Atas alasan itu, tuntutan jaksa agar Pollly divonis seumur hidup tak dipenuhi majelis hakim. Pada 20 Desember 2005, Pengadilan Negeri (PN) Jaksel memvonis Polly selama 14 tahun penjara.
Hukuman tersebut dirasa tak adil. Karena itu, Polly mengajukan kasasi. Pada 3 Oktober 2006 Polly diputus MA tidak terbukti membunuh Munir. Polly hanya divonis 2 tahun penjara, karena terbukti melakukan pelanggaran hukum menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanannya ke Singapura sebagai kru tambahan Garuda.
Setelah Polly bebas, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke pengadilan. MA mengabulkan PK ini. Polly divonis 20 tahun penjara pada 25 Januari 2008. MA mengubah keyakinannya. Menyebut Polly membunuh Munir di Bandara Changi. Bukan dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Tetapi saat keduanya berinteraksi di Cafe Coffee Bean di Bandara Changi.
Di kafe tersebut Polly diyakini duduk bersama Munir. Kendati tidak ada yang melihat Polly menuang racun arsenik, tapi menurut hakim, tindakan Polly membawa dua gelas merupakan bukti petunjuk. Ini karena dalam sidang sebelumnya Munir terlihat kesakitan saat lepas landas dari bandara tersebut.
Akhirnya pada 3 November 2006, Polly kembali masuk bui. Kali ini dia masuk ke LP Cipinang. Namun tak tinggal lama. Pada 25 Desember 2006 dia dibebaskan kembali. Mendapat remisi susulan 2 bulan dan remisi khusus satu bulan.
Pada 25 Januari 2007, Kejagung mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. PK itu kembali diamini MA yang kemudian memvonis Polly 20 tahun. Selanjutnya dia kembali masuk penjara di Sukamiskin. Terhadap vonis tersebut, Polly mengajukan PK pada 2 Oktober 2013 atas PK sebelumnya ke Kejaksaan Agung. MA kemudian mengabulkan PK tersebut. MA menganulir vonis sebelumnya. Masa tahanan Polly kembali menjadi hanya 14 tahun penjara.
Terkabulnya PK atas PK tersebut sempat dianggap tak lazim para pengamat hukum di Indonesia. Juga menjadi bahan gunjingan di internasional. Menurut tata hukum, PK seharusnya diajukan atas putusan kasasi. Putusan PK atas PK yang diajukan kepada Kejaksaan Agung oleh Polly dianggap cacat hukum.
Sejak 28 November 2014, Polly mendapatkan status bebas bersyarat dari LP Sukamiskin. Selama menjalani status tersebut Polly tidak terbukti melakukan kegiatan yang melanggar hukum, meresahkan masyarakat atau tidak terpuji.
BANYOLAN HUKUM
Kendati Pollycarpus sudah divonis pengadilan. Pun sudah menjalani hukuman penjara. Pun saat ini, pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 26 Januari 1961 ini meninggal sudah meninggal. Namun, ada keterangan menarik yang disampaikan mendiang saat menerima surat bebas murni di Balai Pemasyarakatan Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/8/2018). Yaitu setelah dia menjalani vonis penjara dua tahun atas Kasasinya yang diterima MA. Dia divonis 2 tahun, karena tidak terbukti membunuh Munir. Dia hanya terbukti melakukan pelanggaran hukum menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanannya ke Singapura sebagai kru tambahan Garuda.
“Vonis itu sudah inkracht. Namun, saat di Malaysia, saya dipanggil untuk disidang ulang. Nah ini suatu kejanggalan, barang sudah inkrah dengan kasus yang sama saya dihukum ulang,” katanya.
Dalam persidangan kedua dirinya, dikatakan, dia menemukan kejanggalan kasus. Locus delicti -nya yang berbeda-beda. Pertama Jakarta-Singapura, kedua Singapura-Amsterdam. Hasil autopsi di Belanda menyebutkan, indeks time “racun masuk” ke tubuh korban pada 8 jam sebelum meninggal. Sementara jarak terbangnya 12 jam 25 menit. Artinya Munir meninggal dua jam sebelum mendarat. Jika ditarik mundur 2 jam 25 menit, peristiwanya terjadi di Singapura pasca tinggal landas dari Bandara Changi. Padahal di Singapura itu dia turun.
Sedangkan opini pembanding, lanjut Polly, adalah hasil autopsi dari Seattle Amerika Serikat. Yang menyatakan indeks time “racun masuk” ke tubuh Munir pada 9 jam sebelum meninggal. Artinya 1 jam 25 menit setelah take off dari Bandara Changi, Singapura. Jejak waktu tersebut membuktikan Polly tidak ada dalam pesawat bersama Munir. Polly sudah turun di Singapura.
Dalam keterangan lain, Polly menyebut Munir diracun di Cafe Coffe Bean. Lokasi tersebut berada di terminal kedatangan Bandara Changi lantai tiga. Sementara dia mengaku berada di lantai dua. Dia tidak pernah berinteraksi dengan Munir secara langsung.
“Mana mungkin saya ke lantai tiga untuk meracun Munir. Setelah keluar pesawat, saya langsung ke imigrasi, masuk bus dan ke hotel. Fakta hukum jam meninggalkan bandara itu bisa dilihat di catatan Bea Cukai Bandara Changi. Jika Munir terbukti diracun, maka pelakunya bukan saya. Namun, orang lain yang saat ini masih bebas dan menertawakan banyolan hukum yang sukses memenjarakan saya,” katanya saat itu.
Kendati demikian, mantan pilot Garuda Indonesia ini mempersilakan para pihak yang tak puas dengan hasil persidangan, untuk melakukan gugatan hukum. Memanfaatkan fakta Locus delicti yang dimiliki. Misalnya hasil autopsi Belanda yang menyimpulkan indeks time masuknya racun ke tubuh Munir. Demikian pula autopsi dari Seattle, Amerika Serikat.
“Pihak yang belum puas atas keadilan hukum terhadap pembunuhan Munir, silakan melakukan gugatan hukum lagi. Menggunakan locus delicti yang saya miliki itu, tapi untuk saya sendiri sudah close. Saya sudah dipenjara, meski bukan saya pelaku pembunuhan terhadap Munir,” tegasnya.
Saat diraksang untuk memprediksi dalang pembunuhan aktifis HAM Munir tersebut, dengan diplomatis Polly menjawab dirinya saat ini masih sibuk untuk menata kehidupannya yang rusak oleh aktifitas pihak lain. Dia hanya ingin fokus pada pekerjaan yang diamanakan padanya.
“Silahkan hukum yang mencari sendiri. Saya mohon untuk fokus pada pekerjaan. Saya sudah enggak mau mikirin itu lagi. Sudah berlalu. Mau apalagi sekarang, saya mau berguna bagi negara,” katanya.
Usai bebas, Polly bekerja tercatat menjadi asisten direktur PT Gatari Air Service (GAS) milik Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto). Selain itu, bekerja di PT Cahaya Sakti sebagai direktur operasional. Selain itu, dia juga diklaim sebagai salah satu pengurus Partai Berkarya bersama Muchdi PR, sebelum kemudian partai trah Soeharto itu pecah kongsi. END