bongkah.id – Sejak kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid, isi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah banyak dikritisi para pengamat dan pelaku hukum di Indonesia. Salah satunya, kentalnya atmosfer penegakan hukum yang dapat dibisniskan oleh para oknum penegak hukum. Pelaku kejahatan yang mampu “membeli hukum” dijerat dengan vonis ringan. Sebaliknya rakyat miskin yang tak mampu “membeli hukum” dijerat dengan vonis maksimal.
Karena itu, Presiden Wahid berkali-kali mengkritisi isi KUHP yang sangat pro kriminal berduit. Cukup dengan membayar pengacara kondang anggota “mafia hukum”, maka kriminal berduit itu dipastikan akan mendapat vonis hukuman ringan. Tidak sebanding dengan pelanggaran hukum yang dilakukan. Pun kerugian yang ditimbulkan.
Ironisnya, keinginan Gus Dur untuk mengganti KUHP yang isinya merupakan “tinggalan” Bangsa Belanda saat menjajah Indonesia selama 3,5 abad itu, ternyata hanya menjadi wacana. Pun bahan diskusi saja. Keinginan Gus Dur saat itu, tak pernah direalisasi bawahannya. Sikap itu berlangsung sampai Gus Dur dilengserkan MPR. Diganti Megawati Soekarnoputri.
Wacana mengganti KUHP kembali meletup pada masa kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY). Namun, wacana itu selalu terhenti di DPR. Para wakil rakyat sibuk dengan kepentingan politik partai masing-masing. Tak pelak lagi, sampai selesainya dua periode masa kepemimpinan SBY, keinginan mengubah KUHP itu hanya sebagai wacana. Target memperbaiki sistem pidana di Indonesia itu pun gagal.
Obsesi SBY mengganti KUHP untuk memperbaiki sistem pidana di Indonesia itu, dilanjutkan Joko Widodo. Pada tahun ketiga periode pertama kepemimpinannya, mantan Wali Kota Solo itu tetiba meminta Yasonna H. Laoly sebagai Menkumham, merancang skenario penggantian KUHP yang membuat mafia hukum mempermainkan penegakan hukum di Indonesia.
Perjuangan Yasonna dalam memperbaiki sistem hukum pidana di Indonesia itu, kini mulai benderang. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/3/2021), pria kelahiran Sorkam, Tapanuli Tengah, itu menegaskan jika jabatannya akan dimanfaatkan untuk mengakomodasi Rancangan KUHP (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan agar masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolgenas) Prioritas 2021.
“Terkait Rancangan KUHP dan RUU Pemasyarakatan, ada keinginan kami secara bertahap akan mengevaluasi penyelesaian Prolegnas 2021 di pertengahan tahun nanti,” katanya.
Menurut dia, Kementerian yang dipimpin telah menerima surat dari Komisi III DPR. Surat terkait penyelesaian RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Pemerintah dan DPR juga telah menggelar rapat khusus membahas dua RUU tersebut.
Merespons hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menegaskan, siap mendukung rencana tersebut. Pertimbangannya, karena RKUHP dan RUU Pemasyarakatan sangat penting buat bangsa dan negara Indonesia. Yakni untuk memperbaiki sistem pidana di Indonesia, yang kian memprihatinkan. Pun jauh dari kesan penegakan hukum yang benar dan adil.
“Saya secara pribadi mendukung dan menyepakati upaya Kemenkumham segera menyelesaikan revisi RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, untuk dimasukan dalam Prolegnas Prioritas 2021. Saya rasa revisi atas kedua RUU ini sudah mendesak. Karena itu, revisi dua aturan hukum pidana itu harus masuk Prolegnas tahun ini. Kebijakan demi penyempurnaan sistem pidana di Indonesia” ujar politisi Partai NasDem itu.
Dikatakan, KUHP dan regulasi tentang pemasyarakatan yang ada saat ini sudah terlalu tua. Sudah tidak relevan lagi. Banyak pasal yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
“Apalagi KUHP yang sekarang ini sudah usang. Sudah digunakan sejak masa kolonial Belanda. Isinya sampai saat ini belum ada perubahan. Karena itu, saatnya diganti total, sehingga isinya mencerminkan penegakan hukum di Indonesia yang benar dan adil,” katanya.
Sikap senada juga disampaikan anggota DPR Arteria Dahlan. Politisi PDIP itu menilai substansi RKUHP sudah final. Karena itu, RKUHP batal disahkan hingga kini. Pasalnya ada permainan elite tertentu. Namun, Arteria tak merinci elite tertentu yang ia maksud tersebut.
“Kemarin ada permasalahan yang dimainkan oleh elite tertentu di saat rakyat masih terbutakan sehingga gagal kita ini semua,” ujarya.
Pada November 2020, Yasonna sempat mengusulkan kepada Badan Legislasi DPR untuk tak memasukkan dua RUU di atas ke dalam Prolegnas 2021 menyusul isi kedua RUU itu yang kontroversi.
Sebagaimana diketahui, kedua RUU ini sempat menuai polemik. RKUHP pernah memicu demo besar di sejumlah daerah. Ada beberapa pasal kontroversial. Dinilai mengekang kebebasan berpendapat. Selain itu, terlalu masuk ke ranah pribadi. Sementara, RUU Pemasyarakatan dinilai berpotensi memberikan obral remisi, bagi narapidana kasus korupsi. (mad)