bongkah.id ‐ Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu Corona), ternyata tak akan melindungi penyeleweng anggaran penanggulangan dampak pandemi Covid-19 itu dari jeratan hukum.
Signal itu sudah disulut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memastikan segera melakukan audit atas penggunaan anggaran jumbo tersebut.
“Penyeleweng dana Covid-19 wajib dijerat hukum, kami artikan dari pernyataan Presiden Joko Widodo baru-baru ini. Beliau akan menggigit keras para penyeleweng dana Covid-19. Itu sinyal kepada kami untuk melakukan pemeriksaan,” ujar Anggota BPK Harry Azhar Azis, Senin (15/06/2020).
Dipastikan, BPK tidak akan mengecualikan pemeriksaan pejabat negara pelaksana anggaran Covid-19. Saat yang bersangkutan terbukti menyelewengkan alokasi anggaran, maka proses hukum sebagai terduga koruptor dipastikan akan bergulir.
Kendati dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan ada pasal beraroma perlindungan hukum. Menurut ia, tak akan menghalangi tugas audit negara. Hasil audit akan menjadi landasan proses hukum bagi penyelweng dana Covid-19.
Sebagaimana tersurat, dalam Pasal 27 Ayat 2 Perppu 1 Tahun 2020 menyatakan, anggota KSSK, Sekretaris KSSK, hingga pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pejabat lain yang berkaitan dengan pelaksanaan perppu ini tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ditegaskan dalam Ayat 3 menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan perppu bukan merupakan objek gugatan, yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
“Saya yakin Pasal 27 itu akan menimbulkan persepsi salah. Penyeleweng dana Covid-19 menganggap, pasal itu akan membuat dirinya kebal hukum dari status koruptor. Padahal makna pasal tersebut tidak demikian,” ujarnya.
Tidak adanya jeratan hukum, dikatakan, hanya berlaku buat yang menyalurkan dana Covid-19 dengan itikad baik. Itu berlaku, karena tidak adanya kerugian negara. Tidak demikian bagi yang menyelewengkan. Gugatan hukum pasti terjadi, karena menimbulkan kerugian keuangan negara.
Rencananya, BPK akan mulai melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas dana penanganan Covid-19 pada semester II 2020 mendatang. Tepatnya pada Juli 2020. Pemeriksaan nantinya bersifat ad hoc atau sepihak. Audit juga baru dilakukan untuk beberapa sektor, belum menyeluruh.
Seperti diketahui, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp677,2 triliun untuk penanganan Covid-19. Dana tersebut melonjak dari semula Rp405,1 triliun.
Aliran dana penanganan Covid-19 tersebut, menurut ia, harus dikawal baik oleh BPK sebagai auditor. Demikian pula oleh masyarakat. Pasalnya, dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, pemerintah terpaksa menambah utang. Juga, penawaran surat utang negara (SUN) untuk membiayai belanja negara. Sebab di satu sisi belanja membengkak dari semula dipatok sebesar Rp2.540,4 triliun, naik 2,88 persen menjadi Rp2.613,81 triliun.
Sebaliknya, pendapatan negara yang semula diasumsikan mencapai Rp2.233,2 triliun, ternyata susut 21,1 persen menjadi Rp1.760,88 triliun.
Dalam kesempatan sama, Komisioner Komisi Informasi Pusat Cecep Suryadi menilai, pemeriksaan alokasi dana penanganan Covid-19 juga harus dikawal secara internal. Pengendalian internal ini dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun aparat pengawasan internal pemerintah.
“Ini yang harus dioptimalkan karena upaya pencegahan penyelewengan sebenarnya bentuk pertama ada di aparat internal,” katanya.
Lebih lanjut, pemeriksaan dilanjutkan oleh BPK sesuai dengan prosedur audit yang berlaku. BPK berhak menyatakan temuan jika didapati kerugian negara dalam pemeriksaan tersebut. (ima)