bongkah.id – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang semakin cepat belakangan ini memunculkan beragam respons dari masyarakat. Sebagian menganggap AI sekadar “alat penulis berbasis asumsi”, namun sebagian lainnya melihatnya sebagai lompatan teknologi yang tak bisa dihindari.
Muhammad Arif, alumni Universitas Negeri Surabaya jurusan Teknologi Informasi yang kini aktif sebagai mentor coding dalam berbagai seminar praktis, menegaskan bahwa persoalan terbesar bukan pada AI, tetapi pada kesiapan manusia memanfaatkan teknologi tersebut.
Menurut Arif, sejak awal teknologi diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia. “Dari sepeda, motor, telepon, sampai perangkat hiburan modern, semuanya muncul karena manusia selalu mencari cara membuat hidup lebih ringan. AI pun berada di jalur yang sama,” ujarnya saat ditelepon sesuai kegiatan pendampingan praktik coding dan bisnis berbasis aplikasi di Surabaya, Sabtu, 15 November 2025.
Arif menyebut AI bukan sekadar mesin pintar, tetapi alat yang mampu menutupi keterbatasan manusia dalam mengolah informasi.
“Kita tidak mungkin mengingat semua yang pernah dilihat, membaca seluruh pengetahuan baru, atau memproses data sebesar yang dilakukan sistem AI. Dengan big data dan algoritma, AI membantu mengisi ruang-ruang yang tak terjangkau oleh kapasitas biologis manusia,” jelasnya.
Namun Arif tidak menutup mata bahwa hambatan terbesar justru muncul dari sebagian kelompok masyarakat yang masih gagap teknologi. Terutama generasi analog atau baby boomers yang merasa perkembangan digital bergerak terlalu cepat.
“Banyak yang sudah kewalahan menghadapi fitur sederhana di ponsel, apalagi belajar coding atau memahami cara kerja AI. Panik dulu, belajar belakangan. Tapi sering belakangannya tidak pernah tiba,” katanya sambil tertawa.
Meski demikian, Arif mengapresiasi para peserta seminar dari berbagai rentang usia, termasuk peserta berusia di atas 50 tahun yang masih bersemangat mempelajari dasar-dasar pemrograman.
Menurutnya, sikap ingin belajar adalah modal utama untuk bertahan di tengah derasnya arus transformasi digital. “Generasi yang mau membuka diri terhadap ilmu baru akan tetap relevan, apa pun usianya. Justru itu bukti bahwa kemampuan berkembang tidak berhenti hanya karena usia,” imbuhnya.
Ia mengingatkan bahwa AI bukan ancaman pekerjaan selama manusia bersedia meningkatkan kompetensi. Yang menjadi ancaman sebenarnya adalah sikap menutup diri terhadap perubahan.
“Sejarahnya jelas, yang tersisih dalam revolusi teknologi bukan yang kurang pintar tetapi yang merasa sudah cukup pintar dan enggan belajar,” tegas Arif.
Melalui seminar coding dan bisnis berbasis aplikasi yang rutin digelar, Arif berharap semakin banyak masyarakat memahami bahwa AI adalah alat, bukan lawan.
“Masa depan sudah datang mengetuk. Tinggal kita memilih masuk dan ikut berkembang, atau tetap di luar sambil mengeluhkan perubahan,” tutur Arif menutup percakapan. (kim/wid)
Teknologi AI Bukan Ancaman Pekerjaan Bagi Manusia
8




























