Bongkah.id – Perubahan data Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam tiga Surat Keputusan (SK) Bupati Jember pada 2022, 2024, dan 2025 memicu tanda tanya besar di kalangan legislatif dan masyarakat.
Komisi B DPRD Jember menduga ada potensi alih fungsi lahan pertanian produktif yang mengancam ketahanan pangan, menurunkan kesejahteraan petani, dan berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Ketua LBH Mitra Kawula Nusantara (LBH MKN), Puji Muhammad Ridwan, menilai perbedaan luasan LP2B antara SK dan Perda Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan minimal 101.603 hektare adalah indikasi ketidakpatuhan regulasi.
“Ini bukan sekadar data administratif. Setiap hektare yang hilang berarti mengancam sumber penghidupan ribuan petani dan melanggar aturan yang bisa berujung sanksi hukum. Pemkab harus buka data rinci, lokasi, dan alasan perubahan ini,” tegas Puji saat dikonfirmasi sejumlah wartawan usai RDP (Rapat Dengar Pendapat) di ruang Komisi B DPRD Jember, Kamis (14/8/2025).
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi B DPRD Jember, Wahyu Prayudi Nugroho, menambahkan, perubahan antar SK menunjukkan pola yang mengkhawatirkan.
“Di Silo, pada SK 2024 sempat bertambah hampir seribu hektare, lalu turun 200 hektare di SK 2025. Kaliwates dan Sumbersari bahkan hilang dari daftar LP2B terbaru. Kalau ini dibiarkan, kita bisa kehilangan kemampuan swasembada pangan dalam waktu singkat,” ujarnya.
“Jangan-jangan lahan yang sekarang mereka garap ini bukan lahan LP2B, tapi Nanti suatu saat ini berubah lagi, berubah lagi kan tidak bisa seperti itu, jadi harus ini benar-benar lahan LP2B-nya harus rigid,” sambung pria yang akrab disapa Nuki ini.
Plt Kepala DTPHP Jember, Sigit Budi, mengungkapkan perubahan dalam SK bupati dipengaruhi metode pengukuran baru menggunakan poligon tertutup.
“Konsekuensinya, kalau ada lahan keluar dari LP2B, harus ada lahan pengganti dengan luas setara. LP2B berbeda dengan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) yang sama sekali tidak bisa dialihfungsikan. Prinsipnya, total LP2B di Jember tidak boleh berkurang,” jelas Sigit saat dikonfirmasi terpisah.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Cipta Karya, Yessiana Arifa, juga menegaskan LP2B adalah mandat undang-undang yang wajib diakomodasi dalam tata ruang.
“Kami pastikan revisi RTRW tetap memasukkan LP2B tanpa mengganggu pembangunan permukiman dan infrastruktur. Saat ini konsultasi dengan Pemprov Jatim dan Kementerian ATR masih berjalan. LP2B bukan hanya angka di peta, tapi benteng pangan Jember,” kata perempuan yang akrab disapa Yessi ini.
Ia menambahkan, jika alih fungsi dilakukan tanpa prosedur dan penggantian yang sah, risiko hukum tidak hanya bagi pelaksana teknis, tapi juga pengambil keputusan di tingkat kepala daerah.
Dari hal ini, Komisi B berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan dengan seluruh OPD terkait, termasuk inspeksi lapangan untuk memverifikasi koordinat dan kondisi faktual LP2B.
Lebih lanjut Nuki menegaskan, jika ditemukan pelanggaran, mereka siap merekomendasikan langkah hukum agar perlindungan lahan pertanian di Jember tidak sekadar wacana.
“Tentunya ini akan sangat berdampak kepada Karena kemaslahatan ataupun ekonomi masyarakat, khususnya petani yang ada di Kabupaten Jember,” ucap Legislator asal PDI Perjuangan ini. (ata/sip)