bongkah.id – Dua kali sudah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta salinan berkas perkara terkait terpidana hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko S Tjandra ke Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, hingga saat ini pihaknya belum menerima salinan berkas perkara tersebut.
Demikian Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (12/11/2020).
“Tim supervisi KPK telah 2 kali meminta dikirimkan salinan berkas perkara terkait terpidana hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko S Tjandra. Yakni semua dokumen dari perkara tersebut, baik dari Bareskrim maupun Kejagung. Namun, kedua lembaga hukum itu belum memberikan,” kata Nawawi dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (12/11).
Menurut dia, KPK membutuhkan salinan dokumen perkara tersebut untuk digabungkan dengan dokumen-dokumen lain, yang diperoleh dari masyarakat. Dokumen tersebut selanjutnya akan ditelaah dan didiskusikan, sehingga dapat dipertimbangkan kemungkinan KPK melakukan penyelidikan baru terhadap klaster-klaseter yang belum tersentuh oleh proses hukum dari Bareskrim dan Kejagung.
Dikatakan, permintaan dokumen perkara tersebut merupakan bagian dari supervisi yang dilakukan KPK, sebagaimana tugas yang diatur dalam undang-undang. “Bukan KPK yang minta dihargai, tapi supervisi adalah tugas dan kewenangan yang diberikan undang-undang, aturan hukum itulah yang harus dihargai semua pihak,” ujarnya.
Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar Kejagung dan Bareskrim Polri dapat kooperatif terhadap KPK. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menegaskan, saat ini telah ada Peraturan Presiden Nomor 02 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mewajibkan penegak hukum lain, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan agar memberikan akses bagi KPK, untuk melakukan supervisi terhadap perkara yang sedang mereka tangani.
“Dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dan b menyebutkan, bahwa KPK berwenang meminta kronologis dan juga laporan perkembangan penanganan perkara yang sedang dikerjakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan,” katanya.
Menurut Kurnia, supervisi penting dilakukan KPK untuk menyelidiki kemungkinan adanya aktor lain yang juga terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Salah satunya dengan aktifitas penelisikan lebih jauh oleh KPK, hal-hal apa yang mendasari Djoko Tjandra dapat percaya begitu saja dengan Pinangki Sirna Malasari.
“Sedangkan di waktu yang sama, Pinangki tidak memiliki jabatan khusus di Kejaksaan Agung. Apakah mungkin ada petinggi institusi tertentu yang menjamin Pinangki dapat membantu Djoko Tjandra,” ujarnya.
PERPRES SUPERVISI
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada 20 Oktober 2020 dan berlaku pada saat tanggal diundangkan yakni 21 Oktober 2020. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa dari hasil supervisi, KPK berwenang mengambil alih penanganan kasus korupsi dari Kejagung atau Polri.
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi,” demikian bunyi Pasal 2 Ayat 1 Perpres tersebut yang diunduh dari situs JDIH Sekretariat Negara, Kamis (12/11).
Dalam Perpres tersebut disebutkan, instansi yang dimaksud adalah Polri dan Kejaksaan. Dalam pelaksanaannya, KPK perlu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kapolri selaku pimpinan Polri atau Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan. Selain itu, dalam pelaksanaannya, tim KPK juga dapat didampingi tim dari Bareskrim Polri atau Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung. Supervisi oleh KPK ini dilakukan dalam bentuk pengawasan, penelitian, dan penelaahan.
Merujuk Pasal 6 Ayat 2, dalam proses pengawasan KPK berwenang melakukan beberapa hal. Antara lain, meminta kronologis penanganan perkara, meminta laporan perkembangan penanganan baik secara periodik atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan, hingga melakukan gelar perkara bersama.
Dalam rangka penelitian, KPK berwenang meneliti pelaksanaan hasil pengawasan, memberikan arahan dalam pelaksanaan hasil pengawasan, melakukan rapat mengenai perkembangan penanganan perkara, dan melakukan gelar perkara bersama. Hal ini merujuk pada Pasal 7 Ayat 2 Perpres 102/2020.
Sesuai Pasal 8 Ayat 2, dalam melakukan penelaahan, KPK berwenang menelaah pelaksanaan hasil penelitian dan rekomendasi, serta melakukan gelar perkara terhadap hasil pengawasan dan laporan hasil penelitian.
“Berdasarkan hasil Supervisi terhadap perkara yang sedang ditangani oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia,” sebagaimana bunyi Pasal 9 Ayat 1.
Dalam pengambilalihan itu, KPK memberitahukannya ke pihak penyidik atau penuntut umun yang menangani perkara tindak pidana korupsi tersebut. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 9 Ayat 3, dalam proses pengambilalihan itu, Polri atau Kejaksaan wajib menyerahkan tersangka atau terdakwa dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti paling lama 14 hari, terhitung sejak tanggal permintaan dari KPK.
Penyerahan itu dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan. Dengan demikian, segala tugas dan kewenangan dari Polri dan Kejaksaan beralih ke KPK saat proses penyerahan tersebut.
Sementara itu, pihaki kepolisian maupun kejaksaan belum memberikan penjelasan terkait belum dipenuhinya permintaan KPK atas salinan berkas perkara Djoko Tjandra. Dalam kasus ini, mantan pemilik Bank Bali itu yang kini jadi terpidana itu sendiri, berhasil melibatkan sejumlah penegak hukum dari mulai advokat, jaksa, hingga dua jenderal polisi. (rim)