bongkah.id ‐‐ Gelombang unjuk rasa Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang berlangsung 6-8 Oktober dituding pemerintah dan DPR RI, akibat dari masifnya hoaks. Karena itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pemerintahan Joko Widodo membuka akses terhadap draf final Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan pada Senin (5/10).
Kritikan itu disampaikan PKS lewat akun resmi @PKSejahtera di Twitter, Sabtu (10/10). Dalam cuitannya, DPP PKS meminta draf final tersebut dibuka ke publik. Kebijakan itu harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kesalahpahaman. Yang selama ini menjadi polemik politik terkait gelombang unjuk rasa pada 6-8 Oktober lalu. Demikian pula hujan kritik yang terjadi sampai hari ini.
“Draft final UU Ciptaker yang disahkan di paripurna lalu belum juga dapat diakses publik termasuk anggota dewan. Karena itu @FPKSDPRRI mengirimkan surat resmi untuk meminta draft final UU tersebut,” cuit akun PKS yang dikutip Minggu (11/10).
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf sebelumnya mengatakan, bahwa pihaknya belum mendapat draft final UU Cipta Kerja. “Sampai hari kemarin, saya secara pribadi maupun fraksi secara tertulis meminta untuk draf yang sudah ditandatangani yang kemudian diketok di paripurna sehingga menjadi undang-undang. Itu mana barangnya? Sampai hari ini kami belum mendapatkannya,” katanya.
Permintaan untuk melihat draf final UU Cipta kerja itu, sebelumnya juga disampaikan sejumlah pihak. Mendesak pemerintah maupun DPR untuk membuka akses terhadap draf final UU Cipta Kerja, yang disahkan dalam rapat paripurna, Senin (5/10) malam.
Pembukaan akses draf final UU Cipta Kerja ke tengah masyarakat dinilai dapat mencegah kontroversi. Selain itu, untuk memenuhi prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas penyelenggara negara.
Sebagaimana diketahui, Omnibus Law UU Cipta Kerja berisi 11 klaster yang menggabungkan 79 undang-undang. Di dalamnya menyangkut aturan tentang ketenagakerjaan, penyederhaan perizinan, persyaratan investasi, hingga administrasi pemerintahan. Namun, UU tersebut mendapat penolakan dari buruh, akademisi, dan pegiat lingkungan karena dianggap merugikan pekerja dan merusak lingkungan demi investasi. Namun, penilaian ini ditolak para pejabat pemerintah.
PASAL SELUNDUPAN
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mempertanyakan keseriusan DPR dan pemerintah dalam menyusun dan membuat Undang-Undang Cipta Kerja. Pasalnya sepekan setelah disahkan dalam Rapat Paripurna, Senin (05/10), masyarakat belum mendapatkan dokumen undang-undang tersebut.
Padahal jika merujuk pada UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Tata Tertib DPR, salinan dokumen akhir yang telah disetujui harus diterima oleh setiap anggota dewan tanpa kecuali. Selain itu, harus dapat diakses oleh publik.
“Harusnya di tahapan persetujuan, sudah selesai itu barang. Tidak boleh diutak-atik, tidak boleh diapa-apain lagi. Ini kan enggak. Malah lebih konyol, kita tidak tahu di mana drafnya itu. Padahal dalam undang-undang diwajibkan [adanya] transparansi,” ujar Zainal Arifin Mochtar kepada BBC News, Minggu (11/10).
Ditegaskan, keterbukaan dan kemudahan masyarakat mendapatkan dokumen sangat penting. Ini karena bisa menjadi alat kontrol jika terjadi perubahan atas isi undang-undang. “Siapa yang bisa kontrol jika ada perubahan atau kudeta redaksional?” ujarnya.
Ia khawatir semakin lama dokumen itu di tangan DPR, akan terulang kembali kasus masuknya “pasal selundupan”. Ketakutannya itu merujuk pada tiga kasus sebelumnya. Yakni adanya pasal tentang kretek dalam draf RUU Kebudayaan di tahun 2015. Kemudian adanya penambahan jumlah pasal dalam UU Penyelenggaran Pemilu pada tahun 2007. Juga, perubahan ketentuan dalam pasal yang mengatur usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019.
“Kasus Undang-Undang Pemilu, temuan LSM CETRO jumlah pasal yang disetujui 315, ketika keluar jadi 320 pasal. Ada tambahan lima pasal. Pada UU KPK yang baru, ada pasal tentang usia pimpinan KPK minimal 50 tahun. Nah, di bagian huruf tertulis 40, tapi di angka tertulis 50. Kita debat waktu itu. Setneg dan DPR berbeda-beda alasannya. Karena itu, adanya draf akhir itu, agar tidak ada kudeta redaksional seperti sebelumnya,” katanya mempertegas.
Dalam pengamatannya pula, insiden “pasal selundupan” selalu terjadi pada undang-undang kontroversial. Selebihnya, salinan dokumen selalu diberikan ketika diputuskan dalam Rapat Paripurna.
Karena itulah, ia mendesak DPR dan pemerintah membuka dokumen akhir Undang-Undang Cipta Kerja kepada publik. Sebab tahapan berikutnya yakni penyerahan undang-undang kepada presiden untuk di-undangkan, hanya urusan administratif semata. Alasan DPR tentang masih adanya perbaikan kesalahan ketik atau redaksional, tidak bisa diterima.
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Cecep Suryadi, mengatakan dokumen akhir Undang-Undang Cipta Kerja harus dibuka kepada publik karena aturan di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Jelas sangat penting diakses publik, karena undang-undang itu mengatur hajat hidup orang banyak. Ada terkait dengan sistem tenaga kerja, kontrak, sehingga kementerian harus membuka ruang-ruang diskusi ke masyarakat luas,” ujarnya.
“Agar masyarakat benar-benar mengetahui apa substansi yang di kandung di undang-undang itu,” tambahnya.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu undang-undang, menurut dia, sangatlah diperlukan. Kebijakan ini agar tidak menimbulkan kecurigaan. Terlebih, menghindari informasi yang simpang-siur.
Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Herzaky Mahendra Putra turut mendesak agar draft tersebut dapat segera diakses. Menurut dia, ketiadaan akses publik terhadap naskah final UU Cipta Kerja menyebabkan kontroversi. Demikian pula polarisasi pendapat. Karena itu, pemerintah harus segera membuka akses final UU Cipta Kerja ke masyarakat.
Pembahasan, penyusunan, dan pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja menjadi sorotan, lantaran dianggap memiliki cacat secara formil. Maupun substantif. Secara formil, UU sapu jagat itu dibahas dan disusun secara tertutup. Minim partisipasi publik. Sementara, secara substantif, UU tersebut dinilai merugikan kelompok buruh. Hanya menguntungkan kalangan pengusaha.
Herzaky juga mengingatkan catatan keras dari publik soal pembahasan dan penyusunan UU Cipta Kerja yang dinilai tertutup. Dalam proses pengesahan UU tersebut, ada beberapa aturan pengambilan keputusan yang dilanggar DPR. Dia mengingatkan DPR sebagai lembaga legislatif seharusnya menjadi contoh dalam menjalankan kepatuhan terhadap peraturan.
“Niat baik saja tidak cukup. Bagaimanapun, tata cara menjadi penting. Karena niat baik adanya di dalam hati, sedangkan kepatuhan pada peraturan, prosedur, dan hukum menjadi preseden dan teladan sebagai negara hukum,” ,” kata Mahendra dalam keterangan tertulisnya.
PEMERINTAH JUJUR
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI juga menyebut bahwa draf final UU Cipta Kerja perlu dibuka ke publik. Sehingga tidak ada lagi tudingan aksi unjuk rasa didasari hoaks di media sosial. Menurut Ketua Departemen Media dan Komunikasi KSPI Kahar Cahyono, hoaks tidak akan terjadi kalau pemerintah jujur dan transparan dalam membahas UU tersebut.
“Sebenarnya permasalahan ini akan selesai kalau kemudian draf final itu dipublikasikan. Besarnya respons serikat pekerja menolak UU Cipta Kerja, sebagai dampak dari hasil pengamatan rapat yang disiarkan langsung antara Panja dan pemerintah,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas menjanjikan draf itu dapat diakses pada awal pekan depan atau Senin (12/10). Ironisnya saat dikonfirmasi kepada Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidhowi, ia enggan berkomentar dan melempar ke pimpinan DPR. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menyerahkan persoalan ini ke Badan Legislasi.
“Itu porsi mereka yang di Baleg,” kata Aziz Syamsuddin.
Sementara Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rahman juga tidak berkomentar banyak. “Silakan ke Setjen DPR,” katanya.
Ironisnya, meski salinan akhir belum diperoleh, draf Undang-Undang Cipta Kerja tertanggal 5 Oktober 2020 yang berjumlah 905 halaman telah beredar di masyarakat. Namun, dokumen itu disebut beberapa anggota Baleg DPR bukanlah versi final. Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri kemudian menyebut pasal-pasal yang beredar di media sosial sebagai hoaks. (rim)