Bongkah.id – Dewan Pers menolak semua dalil permohonan uji materi Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Permohonan judicial review tersebut pekat dengan nuansa kesesatan berpikir dan keinginan untuk memecah-belah kalangan insan pers.
Argumen itu disampaikan Dewan Pers dalam Sidang Permohonan Uji Materiil Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Mahkamah Konstiusi, Selasa (9/11/2021). Ada empat poin penting dalam keterangan dewan pers selaku selaku pihak terkait dalam sidang judicial review perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021.
Pertama, Dewan Pers menyebutkan perannya sebagai fasilitator untuk organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers. Setiap organisasi pers memiliki kebebasan menyusun peraturan sendiri sesuai azas swa regulasi atau self regulasi.
Hal ini untuk menepis dalil para pemohon yang menyatakan Dewan Pers memonopoli peraturan di bidang pers.
“Bahwa tafsir yang pada pokoknya Dewan Pers memonopoli segala peraturan pers sebagai kesesatan pikir dari para pemohon,” tandas Ketua Dewan Pers Mohamad Nuh melalui keterangan tertulis.
Poin kedua, Dewan Pers membantah keras dalil para Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 Tentang Pers telah menghambat perwujudan kemerdekaan pers. Serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta bersifat diskriminatif karena Presiden tidak mengeluarkan Surat Keputusan bagi organisasi yang mereka dirikan sehingga Presiden telah menghambat kemerdekaan pers.
“Dalil tersebut merupakan tuduhan keji yang tidak berdasar dan menunjukan kesesatan pola pikir serta ketidaktahuan atau ketidakpahaman Para Pemohon dalam memahami norma-norma yang ada di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tukasnya.
Pasalnya, apabila Presiden menanggapi dan merespons keinginan Para Pemohon untuk menerbitkan Keputusan Presiden sebagaimana uraian permohonan di atas, maka Presiden justru berpotensi melanggar Undang-Undang Pers. Karena telah jelas dari sisi nomenklatur penamaan, tidak ada penamaan lain selain “Dewan Pers” dan UU Pers tidak mengenal dan tidak menyebutkan adanya nomenklatur penamaan lain selain “Dewan Pers”.
“Sehingga apabila ada pihak-pihak yang menamakan dirinya dan menyerupai penamaan Dewan Pers seperti Dewan Pers Indonesia, Dewan Pers Independen, dan sebagainya adalah bukan merupakan amanat dari Undang-Undang Pers,” paparnya.
Poin ketiga, Dewan Pers menyampaikan fakta adanya Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah dilakukan upaya Banding. Dalam Permohonan Uji Materill 38/PUU-XIX/2021 a quo itu, Pemohon I, Heintje Grontson Mandagie sebagai Ketua Umum Serikat Pers Indonesia dan Persatuan Pewarta Warga Indonesia juga merupakan Penggugat I dan Pembanding I. Sedangkan Dewan Pers sebagai Tergugat atau Terbanding.
Putusan atas Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang diputuskan pada tanggal 21 Agustus 2019, dengan Putusan No 235/Pdt.G.2018/PN.JKT.PST jo. 331/PDT/2019/PT DKI. Putusan tersebut menyatakan eksepsi Tergugat tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard); menolak gugatan Para Pembanding semula Para Penggugat untuk seluruhnya; serta menghukum Para Pembanding semula Para Penggugat untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan pada tingkat banding ditetapkan sebesar 150.”.
“Menimbang bahwa Terbanding semula Tergugat menerbitkan atau menetapkan kebijakan, keputusan dan/atau regulasi di bidang Pers khususnya menerbitkan berbagai kebijakan perihal kompetensi wartawan sebagaimana didalilkan Para Pembanding semula Para Penggugat adalah perbuatan yang sah dari Terbanding semula Tergugat dalam menjalankan fungsi yang diamanatkan undang-undang dalam rangka menjamin, melindungi, dan mengembangkan kemerdekaan Pers, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas Pers Nasional”.
Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, Dewan Pers menyatakan patut diduga tindakan atau perbuatan Para Pemohon termasuk pengajuan Permohonan Uji Materill 38/PUUXIX/2021 ini dilakukan dengan itikad buruk. Tujuannya bukan saja untuk mengganggu kemerdekaan Pers yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan kekacauan dalam penyelenggaraan Pers dan hilangnya kepastian hukum baik Organisasi Pers sendiri maupun masyarakat (publik) secara luas,” papar Dewan Pers.
Poin terakhir dari jawaban pihak terkait adalah menyangkut pertanyaan Majelis Hakim Konstitusi terkait keunggulan dan kelebihan agar Pers Indonesia dan Dewan Pers menjadi garda terdepan di dalam kerangka kerja jurnalistik. Yakni menjaga dan melindungi kemerdekaan Pers dan mewujudkan Pers yang profesional.
Jawaban Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan Pers. Fungsi ini dilakukan oleh Dewan Pers dalam rangka mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
“Dari pengaduan masyarakat tersebut, Dewan Pers akan menilai apakah dalam pemberitaan—karya jurnalistik yang diterbitkan oleh suatu Media atau Perusahaan Pers terdapat pelanggaran atas Kode Etik Jurnalistik atau tidak,” tuturnya.
Jika fungsi ini tidak dijalankan oleh Dewan Pers maka akan menimbulkan efek negatif berupa ketidakpercayaan masyarakat luas (publik) akan produk jurnalistik yang profesional. Sehingga berpotensi mencederai kemerdekaan pers dan berpotensi terancam serta tercabut.
“Karena berbagai pengaduan masyarakat yang berhubungan dengan pemberitaan pers akan berujung ke jalur hukum perdata maupun pidana.”
Selain itu, Dewan Pers juga berupaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Caranya melalui kerjasama aktif dan positif dengan pihak lain di luar masyarakat pers.
“Kerjasama ini dilakukan juga untuk meningkatkan kesadaran paham media (media literacy) masyarakat dan memberikan pemahaman yang tepat dan sama perihal kemerdekaan pers dan dampaknya bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat,” jelasnya.
Pada kesempatan itu, Dewan Pers juga menjelaskan Peraturan tentang Standar Kompetensi Wartawan yang didalikan pemohon melanggar UU Pers dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalil tersdebut sama sekali tidak berdasar. Sebab, menurut kuasa hukum Dewan Pers, pihak terkait diberi kewenangan oleh UU Pers untuk meningkatkan kualitas pers nasional.
“Secara demikian peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan diterbitkan sebagai wujud nyata dari fungsi Dewan Pers pada pasal 15 Ayat (2) huruf f,” ungkapnya.
Dalil Gugatan Pemohon
Sebelumnya, Hans Kawengian selaku Pemohon mengaku Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan yang selama ini diterapkan adalah hanya berdasarkan keputusan sepihak oleh Dewan Pers. Peraturan Dewan Pers yang ada selama ini, menurutnya, tidak sah karena itu domainnya organisasi pers.
“Sebab hasil keputusan bersama organisasi-organisasi pers pada tahun 2006 yang disebut Dewan Pers sebagai konsensus, tidak ada satupun dari kami yang memberi kewenangan kepada Dewan Pers untuk merubah keputusan tersebut menjadi Peraturan Dewan Pers,” ungkap Hans Kawengian.
Kawengian merupakan saksi sekaligus pelaku sejarah penyusun peraturan pers tentang standar organsiasi wartawan. Dia menjadi salah satu peserta yang ikut menandatangani kesepakatan membuat peraturan pers tentang Standar Organisasi Wartawan dan kesepakatan memberi Penguatan Dewan Pers.
Ketua Umum Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI) menegaskan, seharusnya kesepakatan organisasi-organisasi pers tersebut dijadikan peraturan di masing-masing organisasi pers tentang Standar Oganisasi Wartawan. Namun, lanjut Hans, regulasi itu dijadikan peraturan Dewan Pers secara sepihak pada tahun 2008.
Lalu secara sepihak, Dewan Pers juga menyatakan puluhan organisasi-organisasi pers itu bukan konstituen Dewan Pers karena tidak memenuhi standar organisasi wartawan tesebut.
“Sehingga sejak 2008 sampai sekarang kami organisasi pers berbadan hukum yang diakui pemerintah tidak lagi dilibatkan, atau hak konstitusi memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers telah dirampas dan dihilangkan secara sepihak oleh Dewan Pers,” tutur Hans.
Namun Hans mengaku puas atas tanggapan secara tertulis Dewan Pers dalam sidang MK kali ini. Sebab, melalui keterangan itu Dewan Pers sudah mengakui, bahwa kewenangan membuat peraturan pers itu ada pada organisasi pers.
Pemohon lainnya, Hence Mandagi mengatakan, dalam sidang di MK sudah jelas dan terang benderang Dewan Pers menyatakan, atas dasar konsensus itu diterjemahkan keputusan bersama organisasi-organisasi pers tersebut menjadi Peraturan Dewan Pers.
“Ini yang kami uji materi di MK mengenai kalimat memfasiltasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers, agar tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Mandagi di Jakarta. (bid)