Bongkah.id – Langkah mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Malang Wahyu Hidayat melaju di Pilkada Serentak 2024 tersandung isu gratifikasi dan mahar politik. Dia disebut-sebut membeli rekomendasi dari PDI Perjuangan dan sejumlah partai politik dengan uang upeti sejumlah para kepala organisasi daerah (OPD).
Dalam upaya ikut bertarung di Pemilihan Walikota (Pilwali) Malang, Wahyu mengincar rekom dari sejumlah partai. Untuk memuluskan ambisinya, mantan Kepala Bappeda Kota Malang itu disebut meminta para kepala dinas menyokong dana untuk mahar politik hingga Rp 3 miliar.
Salah satu partai yang sedang didekati adalah PDI Perjuangan. Untuk mendapatkan rekom partai banteng, Wahyu diduga mendekati Sekretaris DPD PDIP Jawa Timur Sri Untari.
Pertemuan mereka terkuak melalui sebuah foto yang beredar di Whatsapp awak media. Kepala Dinas Pangtan Slamet Husnan dan Kadiskoperindag Eko Sri Yuliadi ikut mendampingi Wahyu dalam agenda temu di salah satu rumah Sri Untari.
Seorang sumber pegawai di salah satu dinas membenarkan adanya pertemuan Wahyu dan Sri Untari yang juga Anggota DPRD Jatim. Sebab, dia mengetahui pimpinan dinasnya ada di dalam foto tersebut.
“Pertemuan itu benar-benar tidak etis. Karena dilakukan pejabat dengan anggota dewan di luar ranah kedinasan,” ucap pegawai berstatus ASN yang menolak disebut namanya karena tak mau pekerjaannya terancam.
Bahkan kabarnya, dalam pertemuan itu, Wahyu disebut-sebut menyetorkan uang sebesar Rp 500 juta untuk memuluskan turunnya rekom. Mahar tersebut kabarnya sudah ditentukan oleh Sri Untari untuk biaya operasional.
Menurut ASN berinisial BGT, kepala dinasnya menyetor uang sebesar Rp 300 juta kepada Wahyu. Dia menyebut, pimpinannya mau saja menyokong dana untuk membeli rekom partai karena dijanjikan mutasi jabatan ke dinas yang lebih menjanjikan.
“Tetapi tidak ada tindakan dari pemerintah pusat atau provinsi,” ungkapnya.
ASN di dinas lainnya, BTE, mengungkapkan Wahyu juga meminta sejumlah kepala dinas lain agar menyiapkan uang senilai total hingga Rp 3 miliar. Uang tersebut untuk mendapatkan rekom dari beberapa partai yakni Gerindra, Golkar dan PKS.
“Kita mau lapor juga takut. Karena melibatkan pimpinan. Semoga saja ada yang mau melaporkan dan tindakan tegas dari pemerintah pusat,” tandasnya.
Sementara Wahyu Hidayat belum bisa dikonfirmasi terkait permasalahan ini. Demikian juga dengan Sri Untari.
Wahyu Hidayat belum lama ini mundur dari jabatannya untuk maju sebagai calon Walikota Malang. Sejauh ini, belum ada partai yang sudah resmi mengeluarkan rekomendasi kepadanya. Namun informasinya, Wahyu telah mendapat rekomendasi dari DPP Gerindra dan berpasangan dengan kader PSI, Ali Muthohirin.
Direktur Lembaga Analisis Politik dan Otonomi Daerah George da Silva bereaksi keras terhadap kabar dugaan gratifikasi dan mahar politik Pj Walikota Malang. Dia menyoroti pemberian mahar untuk rekom partai dari uang gratifikasi.
“Ini seperti pelanggaran dobel. Gratifikasinya sudah melanggar hukum, pemberian maharnya juga dilarang berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016,” katanya.
Menurut dia, pelanggaran ini harus diusut tuntas, baik gratifikasi maupun mahar politiknya. Apalagi, terduga pelakunya adalah pejabat dan anggota dewan.
“Mahar politik tentu harus juga diusut,” ujar George.
Dia menilai, DPP partai yang kadernya diduga menerima mahar itu pun harus turun tangan. PDIP misalnya, imbuh George, bisa memanggil kedua pihak yakni Sri Untari dan Wahyu Hidayat untuk diklarifikasi secara langsung.
“Partai politik sebagai penjaga demokrasi sehat jangan diam saja atau bahkan ikut terlibat dalam praktik jual beli rekom. Kalau itu benar terbukti ada kader yang menerima uang dari bakal calon kepala daerah, maka harus ada sanksi tegas, rekom dibatalkan,” jelasnya.
Demikian pula dengan masyarakat dan penegak hukum, seharusnya tidak tinggal diam dengan mencuatnya isu tersebut. Informasi adanya gratifikasi dan jual beli rekom harus diselidiki oleh aparat penegak hukum.
“Foto yang beredar dan keterangan saksi yang mengetahui itu bisa menjadi petunjuk awal untuk menyelidiki,” pungkas George. (yg/bid)