MANTAN Menteri Sosial Juliari P. Batubara telah ditetapkn KPK sebagai tersangka dalam skandal korusi Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19. Juliari diduga menerima fee dari wewenang melakukan penunjukan langsung (PL) atas proyek Bansos tersebut. Politisi PDIP itu mengutip Rp10 ribu per paket bansos, dar nilai Bansos sebesar Rp300 ribu per paket.

bongkah.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menangkap Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara. Penangkapan dilakukan pasca penetapan sebagai tersangka, terkait korupsi Bantuan Sosial (Covid-19) di Kementerian Sosial tahun 2020.

Dalam perkara ini, Juliari diduga menerima fee senilai Rp17 miliar dari periode pertama. Sementara dari periode kedua baru ditemukan Rp14, 5 miliar.

ads

Dengan penetapan itu, Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy sebagai Menteri Sosial Ad Interim. Menggantikan Menteri Sosial Juliari Batubara yang kini berstatus tersangka.

“Kasus suap ini diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin. Nilainya sekitar Rp 5,9 triliun. Dipecah menjadi 272 kontrak yang dilaksanakan dalam dua periode,” kata Ketua KPK Firli Bahuri seperti Dilansir Kompas Tv, Minggu (6/11/2020).

Juliari Batubara selaku Menteri Sosial menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Sosial. Pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung (PL) para rekanan. Dalam penunjukan rekanan itu, diduga telah disepakati dan ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan. Fee itu harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.

Untuk fee tiap paket Bansos disepakati oleh MJS dan AW, sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket Bansos. Selanjutnya oleh MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020, dibuatlah kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan. Ketiganya yakni, Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS). Demikian pula dengan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik MJS.

Bansos yang dikelola Kementerian Sosial ini merupakan bansos terbesar dari pemerintah pusat. Ditujukan untuk warga terdampak pandemi Covid-19, terutama mereka yang masuk golongan warga kurang mampu.

Pemerintah pusat sendiri menganggarkan dana lebih dari Rp 431 triliun, untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Kementerian Sosial mendapatkan anggaran bansos terbesar.

Kementerian Sosial mengalokasikan anggaran tersebut, untuk beberapa program yang terbagi dalam paket-paket bantuan pemerintah untuk perlindungan sosial.

Dilansir dari Antara, realisasinya bantuan perlindungan sosial pemerintah pusat hingga per 30 November 2020 yakni Rp 207,8 triliun (88,9%) dari pagu Rp 233,69 triliun. Program bansos meliputi PKH Rp 36,71 triliun, kartu sembako Rp 39,71 triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp 6,44 triliun, dan bantuan sembako non-Jabodetabek Rp 33,33 triliun.

Berikutnya bansos tunai penerima sembako Rp 4,5 triliun, dan bansos beras bagi penerima PKH Rp 5,26 triliun.

Selain digunakan untuk bansos warga miskin, dana PEN juga disalurkan untuk berbagai program antara lain Kartu Prakerja Rp 19,9 triliun, diskon listrik Rp 9,74 triliun, BLT dana desa Rp19,17 triliun.

Dalam menangani skandal korupsi Bansos Covid-19 ini, menurut Firly, KPK mempertimbangkan kemungkinan penerapan ancaman hukuman mati.
Ancaman bagi pelaku korupsi itu diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Beleid pasal itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

“Terkait pasal-pasal, khususnya pasal 2 ayat 2 UU 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, tentu kita akan dalami terkait dengan apakah pasal 2 itu bisa kita buktikan terkait pengadaan barang jasa,” katanya.

Firli menuturkan pihaknya mesti mendalami lebih lanjut, es terkait sejumlah unsur dalam perkara ini. Mulai dari sisi pelaku, perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, hingga apakah perkara ini merugikan keuangan negara.

“Itu kita dalami tentang proses pengadaannya, tetapi perlu diingat bahwa yang kita sampaikan hari ini adalah salah satu klaster dari tindak pidana korupsi,” tutur Firli.

Sementara untuk mempermudah penyidikan, Juliari ditahan selama 20 hari. Ia ditahan di Rumah Tahanan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur, Jakarta Selatan. Adapun Adi ditahan di sel milik Polres Jakarta Pusat.

Selaku penerima, Juliari dijerat Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan, Adi dan Matheus dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lalu Ardian dan Harry selaku pemberi dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (rim)

2

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini