bongkah.id – Tanpa lobi politik Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, pasangan Eri Cahyadi dan Armuji tidak akan mendapatkan surat rekomendasi. Mega tidak kenal Eri Cahyadi. Selain bukan kader partai berlambang Banteng moncong putih itu, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya (Bappeko) dan Plt.Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) 2018 itu tak memiliki jasa apa pun terhadap partai.
Demikian penilaian pengamat politik Surokim Abdusalam saat ditemui di Surabaya, Kamis (3/8/2020) malam.
Menurut peneliti Surabaya Survey Center (SSC) ini, pengaruh Risma sangat kuat sekali dalam penerbitan rekomendasi PDI Perjuangan untuk pasangan Eri Cahyadi dan Armuji, untuk maju di Pilkada Surabaya 2020. Fakta politik ini membuktikan kekuatan lobi politik Risma pada Megawati. Modal argumentasi politiknya, pasangan Eri dan Armudji dijamin mampu melanjutkan program pembangunan Kota Surabaya, yang sudah dilakukan Risma dalam dua periode.
Fakta ini, ditambahkan, secara politik yang menerbitkan rekom buat pasangan Eri dan Armuji itu adalah Tri Rismaharini. Bukan Megawati Soekarnoputri. Sebab penerbitan rekom tersebut tidak seperti umumnya. PDI Perjuangan biasanya hanya memberikan rekom pada kadernya. Bukan non kader. Status Risma saat mau maju dalam Pemilihan Wali Kota Surabaya 2010 dan 2015 adalah kader PDIP. Sementara Eri Cahyadi sampai rekom diterbitkan statusnya bukan kader partai.
“Perbedaan status kader saat penerbitan rekomendasi maju dalam Pilwalkot Surabaya itu, membuktikan ada sesuatu yang khusus dalam pencalonan Eri Cahyadi ini. Saya pikir pengalaman 10 tahun membuat kuatnya faksi Risma, yang menyimpulkan Mega di Surabaya itu adalam Risma. Bukan Megawati Soekarnoputri,” kata Dekan FISIP Universitas Trunojoyo Madura ini.
Keluarnya rekomendasi Eri-Armuji, dikatakan, mencerminkan relasi kuasa Risma kepada Megawati adalah relasi kuasa khusus. Terpilihnya Eri-Armuji menunjukkan, PDIP tetap menerapkan skema nonkader untuk mengakomodasi Wali Kota Risma dan kader untuk mengakomodasi kader PDIP.
“Terpilihnya Armuji sekadar untuk menguatkan mental dan dukungan kader PDIP Surabaya. Faktanya saat terpilih dan memenangkan Pilkada Serentak 2020, yang menang bukan PDIP Surabaya sebagai kepanjangan tangan Megawati Soekarnoputri. Namun kemenangan Risma yang mantan Wali Kota Surabaya,” ujarnya.
Dengan fakta politik tersebut, Surokim memprediksi dukungan yang akan diberikan kader PDIP Surabaya dalam Pilkada 2020 ini tidak akan setotal saat Pilkada 2010 dan 2015. Secara politik banyak kader PDIP akan mbalelo. Melakukan perlawanan politik. Fakta itu akan terlihat dalam hasil Pilkada nanti.
“Fakta perlawanan politik itu akan terlihat dari selisih suaranya di Pilkada 2020 nanti. Menang dengan selisih tipis. Atau kalah dengan suara mutlak,” prediksi Surokim.
Keberanian kader PDIP melakukan perlawanan politik tersebut, menurut dia, karena pada saat ini sudah banyak kader partai banteng itu yang cerdas bepolitik. Mereka sudah merasakan selama dua periode kepemimpinan Risma di Kota Surabaya, para kader tidak mendapatkan kenikmatan apa pun. Mereka hanya menjadi pasukan yang harus bekerja keras saat Pilkada dan Pemilu Legislatif. Sementara penikmat keberhasil para kepala daerah dan legislator yang diusung PDIP adalah petinggi partai di Jakarta.
FAKTOR KEKUATAN
Sementara pakar komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo menegaskan, faktor Tri Rismaharini yang digadang-gadang pasangan Eri Cahyadi dan Armuji sebagai modal memedangkan Pilwalkot Surabaya 2020. Ini karena pasangan yang direkom PDIP tersebut secara politik tidak memiliki suara dukungan fanatik. Keduanya tidak populer di masyarakat Surabaya, apalagi Armuji sebagai politisi PDIP sudah menyatakan mundur dari pencalonan untuk mendapatkan rekom.
“Secara politik, kekuatan suara antara pasangan Eri-Armuji dan pasangan Machfud Arifin-Mujiaman yang diusung multi partai cukup berimbang. Sebab faktor Risma masih cukup kuat. Dengan catatan PDIP harus solid untuk memenangkan Eri-Armuji,” kata Suko saat dikonfirmasi.
Jatuhnya rekom PDIP ke Eri Cahyadi sebagai calon Wali Kota Surabaya, menurut dia, tak terlepas dari kekuatan lobi politik seorang Tri Rismaharini pada Megawati. Risma sejak lama menggadang-gadang Eri sebagai penerusnya. Indikasinya terlihat dari baliho yang beredar di mana-mana. Pemkot Surabaya melakukan pembiaran atas baliho bergambar Eri Cahyadi, yang masih berstatus ASN (aparatur sipil negara). Padahal fakta itu melanggar peraturan.
Mengenai pilihan berpasangan dengan Armuji, dinilainya, sekadar strategi politik untuk mengambil ceruk suara dari kader PDIP. Armuji merupakan politisi PDIP yang berpengalaman sebagai wakil rakyat, bahkan pernah menjadi ketua DPRD Kota Surabaya.
Kendati demikian, Suko meyakini, munculnya permasalahan yang akan dihadapi PDIP dalam Pilwalkot Surabaya 2020. Kemunculan rasa kecewa politik. Merasa pengabdiannya selama ini sebagai kader PDIP, ternyata tidak dihargai oleh partai. Merasa hanya dimanfaatkan sebagai obyek pelengkap atau obyek penderita partai untuk berkuasa. Rasa kecewa itu pasti dirasakan Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana. Demikian kader partai lainnya.
“Secara politik jasa Wisnu Sakti Buana pada PDIP sangat besar. Beliau berhasil mengangkat PDIP Surabaya. Namun perjuangannya itu tidak bisa menghantarkannya menerima rekom, justru orang lain yang tidak punya jasa pada PDIP yang menerima rekom. Friksi antara Bu Risma dan Pak Whisnu ini yang menyisakan persoalan dalam tubuh PDIP Surabaya yang akan berdampak besar dalam perolehan suara di Pilkada nanti,” ujarnya. (rim)