bongkah.id – Polda Jatim dan Polres jajarannya membuat kejutan. Setiap Hari Kamis secara serentak menyelenggarakan kegiatan keagamaan “Ngaji Kitab Kuning” di masjid masing-masing. Kegiatan ini diselenggarakan bekerja sama dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) setempat.
“Kegiatan ngaji kitab kuning oleh anggota Polri dan aparatur sipil negara (ASN) tersebut diselenggaran setiap hari Kamis. Peserta pengajian ini hanya bagi yang beragama Islam. Selain itu, pada saat penyelenggaraan pengajian tidak sedang berdinas atau piket,” kata Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta di ruang dinasnya, Mapolda Jatim, Jl. Ahmad Yani, Surabaya, Jumat (4/6/2021).
Menurut dia, setiap penyelenggaraan rencana awalnya langsung diikuti oleh tujuh orang pejabat utama, 50 orang anggota Polri, dan 15 orang ASN. Untuk sementara selama masa pandemi ini pesertanya secara bergantian, sehingga penyelenggaraannya mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Peserta pengajian kitab kuning pada hari Kamis (3/6/2021) kemarin, dikatakan, jumlahnya mencapai 2.925 anggota Polri dan ASN. Jumlah itu dihitung dari yang mengikuti di masjid Polda Jatim dan masjid di jajaran Polres se-Jatim.
Dalam menyelenggarakan agenda rutin keagamaan tersebut, diakui, pihaknya bekerjasama dengan para ulama dan toko NU dari PWNU dan PCNU di setia kabupaten/kota. Para tokoh agama itu tidak hanya bertindak sebagai pengajar. Juga, mengupas makna dari ayat-ayat kitab kuning yang saat itu tengah dibaca. Sehingga setiap personil yang mengikuti agenda tersebut mendapatkan ilmu baru, yang dapat diaplikasikan dalam melaksanakan tugasnya sebagai personil Polri. Juga, anggota masyarakat di tempat tinggalnya.
Sebagaimana diketahui, kewajiban anggota Polri untuk mengaji Kitab Kuning itu merupakan salah satu agenda yang disampaikan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri di Komisi III DPR RI, Rabu (20/1/2021).
Kegiatan keagaaman yang diusung saat menjabat sebagai Kapolda Banten itu, dikatakan, memiliki kekuatan dalam mencegah perkembangan radikalisme dan terorisme. Ini karena para personil yang dipimpinnya saat itu mampu melakukan komunikasi dari hati ke hati dengan anggota masyarakat, untuk menghindari ajakan dari para penganut radikalisme yang memlencengkan ajaran Agama Islam sesungguhnya. Yang menolak kekerasaan dan kedzoliman.
Menurut Jenderal Sigit, gagasan mewajibkan personil Polda Banten mengaji Kitab Kuning tersebut berasal dari masukan para ulama yang pernah ditemui. Atas dasar saran itu, program wajib belajar Kitab Kuning kepada personil Polri akan dilanjutkan saat dirinya resmi dilantik menjadi Kapolri.
“Tentunya baik di eksternal maupun internal itu saya yakini apa yang disampaikan para ulama itu benar adanya. Hasil dari mewajibkan para personil mengaji Kitab Kuning tersebut, sudah saya rasakan saat menjabat Kapolda Banten. Karena itu agenda mengaji Kitab Kuning akan saya lanjutkan saat menjabat Kapolri,” katanya pria berdarah Ambon ini pada saat itu.
KITAB KLASIK
Dikutip dari situs resmi Nahdlatul Ulama, Kitab Kuning adalah sebutan untuk kitab-kitab klasik karya ulama-ulama zaman dahulu (ulama salaf). Kitab ini merupakan salah satu rujukan utama dalam sistem pengajaran di pesantren berbasis Nahdlatul Ulama (NU).
Penyebutan Kitab Kuning sendiri, merujuk dari wujud fisik kitab-kitab klasik tersebut. Yaitu fisiknya yang terdiri dari kertas-kertas warna kekuning-kuningan.
Isi dari Kitab Kuning di antaranya ilmu-ilmu mengenai agama Islam di antaranya syarah (kitab yang berisi komentar), hasyiyah (komentar atas komentar), kitab terjemahan, dan kitab saduran.
Aksara yang tertulis dalam Kitab Kuning adalah huruf Arab tanpa harakat. Sistem penulisannya yang karib disebut huruf gundul atau huruf pego/pegon. Hal itu membuat beberapa masyrakat di Jawa menyebut Kitab Kuning sebagai ”Kitab Gundul”.
Kendati menggunakan Aksara Arab, terdapat Kitab Kuning yang berisi komentar, saduran, atau terjemahan ditulis dalam ”Arab Pego/Arab Pegon” yang merujuk pada tulisan dengan Aksara Arab, tapi berbahasa Jawa.
Perlu diketahui, mayoritas Kitab Kuning berupa nadhom atau syair. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah penghafalan. Meskipun demikian, untuk membaca kitab tersebut dibutuhkan keahlian. Memahami bahasa arab dengan benar adalah sarana pertama yang wajib dikuasai, mengingat dua sumber utama dalam Islam, yakni Al-Quran dan hadist nabi menggunakan bahasa Arab tingkat tinggi.
Ilmu yang mesti dikuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab /Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq), Sejarah Bahasa, Mufrodat, dan seterusnya.
Menurut sejarawan asal Belanda, Martin van Bruinessen, kitab-kitab yang berisi inti ajaran Islam ini ditulis antara abad 10 hingga abad 15 Masehi. Beberapa kitab ditulis sebelum periode itu dan sejumlah karya juga ditulis setelah masa itu. Namun, pada akhir abad 15 pemikiran Islam sudah mencapai puncaknya. Sehingga tidak ada perkembangan signifikan dalam tradisi penulisan kitab tersebut.
Dalam tradisi abad pertengahan, semua ilmu dianggap sebagai sistem pengetahuan yang terbatas. Karena itulah penambahan pada pengetahuan yang sudah ada dianggap tidak tepat. Sehingga penulisan kitab-kitab ilmu pengetahuan agama Islam dirangkum ke dalam 8 kategori. Yaitu melengkapi yang belum lengkap, mengoreksi yang salah, menjelaskan yang belum jelas, rangkuman dari karya yang panjang, kumpulan berbagai tulisan yang terpisah namun berkaitan, penyusunan tulisan-tulisan yang tidak teratur, dan ringkasan apa yang sebelumnya belum diringkas, serta terjemahan karya-karya terdahulu.
Pengetahuan yang ditulis dalam kitab kuning sifatnya sudah tetap. Kalaupun ada karya-karya baru, kitab-kitab itu tetap berada dalam batas-batas yang jelas. Tidak bisa lebih dari sekadar ringkasan, penjelasan, dan komentar dari hal-hal yang sudah ditulis sebelumnya.
Kondisi itu oleh kaum reformis dan modernis dianggap sebagai sumber kejumudan, meskipun dalam praktiknya tradisi kitab kuning jauh lebih fleksibel dari anggapan tersebut. Tradisi penulisan kitab ini sangatlah kaya dan tetap menjadi lentur. Justru tradisi ini mencerminkan tidak adanya tendensi, untuk menjadi sama atau konsisten.
Di dalam kitab-kitab klasik tersebut, sering dijumpai perbedaan pendapat antara kitab satu dengan kitab lainnya dalam mengupas suatu persoalan. Pengajaran kitab kuning di pesantren berbasis pada transmisi oral (pengajaran lisan). Teks dalam kitab-kitab tersebut dibaca keras oleh kiai kepada santrinya, yang juga memegang kitab yang sama sambil membuat catatan. Kemudian kiai memberi komentar dan menjelaskan makna-maknanya. Selanjutnya santri membaca kembali kitab itu sambil diperiksa bacaannya oleh kiai. Setelah santri menuntaskan satu kitab biasanya ia akan mendapat ijazah dari kiainya dan bisa belajar kitab yang lain.
Sejumlah pesantren sudah mulai mengajarkan kitab kuning secara klasikal. Menerapkan kurikulum yang sudah standar, namun sejumlah pesantren lain tetap menerapkan metode pengajaran kitab seperti disebut di atas.
Sedangkan Kitab Kuning atau dasar yang dipelajari di pesantren sebanyak tujuh kitab. Yakni Kitab Al-Jurumiyah yang mempelajari gramatika bahasa Arab; Kitab Amtsilatu Tashrifiyah yang mempelajari perubahan pola kalimat dalam bahasa Arab (tashrif); Kitab Mustholahul Hadits yang mempelajari seluk beluk ilmu hadist; Kitab Arba’in Nawawi yang mempelajari dan memahami suatu hadist; Kitab Taqrib yang mempelajari fiqh; Kitab Aqidatul Awam yang mempelajari dasar aqidah; dan Kitab Ta’limul Muta’alim yang mempelajari akhlak dan kerap dianggap puncak ilmu.
Dengan penjelasan itu, maka Kitab Kuning sebenarnya tidak hanya terdiri atas satu buah buku. Kitab Kuning bisa terdiri atas puluhan atau ratusan jilid buku bergantung dari tingkat dan bidang yang dipelajari seorang santri.
Ulama yang menulis Kitab Kuning pun jumlahnya sangat banyak. Ratusan orang. Namun yang populer hingga saat ini hanya beberapa orang saja. Diantarnya adalah Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah di Makkah, Sayyid Bakri bin Muhammad Syaththa1 Al Dimyati, Ibrahim Al-Bajuri atau Baijuri, Da’ud bin Abdullah Al-Patani, Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (Nawawi Banten), Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abd Al-Shamad Al-Palimbani, Saleh Darat (Shalih bin Umar Al-Samarani), KH Mahfuzh dari Termas (Mahfuzh bin ‘Abdullah Al- Tarmasi), dan KH Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri.
Sedangkan penerbit Kitab Kuning di Indonesia antara lain Salim Nabhan di Surabaya, Menara Kudus di Kudus, Al-Munawwarah di Semarang, Raja Murah di Pekalongan, Misriyya di Cirebon, Al-Shafi`iyya dan At-Tahiriyya di Jakarta. Sebagian besar kitab yang diterbitkan sudah mengalami cetak ulang dari kitab asli yang terbit di Makkah, Beirut, atau Kairo. (bid-02, mad)