bongkah.id — Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi korban “ketidakmampuan kerja” para pembantunya. Pada Senin (2/11/2020) siang, ia secara resmi menandatangani Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disepakati dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober lalu. Naskah yang ditandatangani, yang versi 1.187 halaman. Versi yang dikirimkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Bukan naskah versi 812 halam yang diantarkan Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar ke kantor Kementrian Sekretariat Negara (Kemensetneg), 14 Oktober 2020. Naskah tersebut langsung diunggah ke situs resmi Sekretariat Negara (Setneg) pada hari itu juga.
Namun, belum 24 jam naskah tersebut berada di situs Setneg, sejumlah pihak yang telah mengunduhnya menemukan beberapa kesalahan atau kejanggalan. Salah satu yang mencuat pertama adalah kejanggalan pada Pasal 6 yang merujuk pada Pasal 5. Diikuti kejanggalan di Pasal 175 Poin 6 yang berisi perubahan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Fakta hukum berjibunnya kesalahan dan kejanggalan itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Arteria Dahlan mempertanyakan terjadinya kejanggalan-kejanggalan tersebut. Politikus PDIP itu meminta agar pemerintah mengembalikan naskah UU Ciptaker ke Baleg DPR. Pihaknya akan melakukan penyisiran ulang dan mengembalikan naskah UU Ciptaker sesuai dengan hasil kesepakatan di Baleg DPR.
“Kita siap untuk kembalikan dan kita perbaiki langsung. Pemerintah kasihlah yang ada logo-logo Presiden RI, kita yang perbaiki biar enggak gaduh lagi, Arteria Dahlan saja pribadi siap memperbaiki,” katanya.
Banyaknya kejanggalan di dalam UU Ciptaker versi 1.187 halaman yang diteken Jokowi, menurut pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, mencerminkan proses pembuatan Undang-Undang tersebut yang ugal-ugalan. Asal jadi. Tanpa dilakukan verifikasi faktual secara ilmu hukum. Bukti cacat formil itu ditemukannya banyaknya kesalahan dalam UU Cipta Kerja. Ironisnya Presiden Jokowi tetap memberikan teken, yang membuktikan jika mantan Wali Kota Solo itu tidak membaca dan mempelajari isi dari UU yang diteken. Pun menentukan hajat hidup semua rakyat Indonesia tersebut.
Karena itu, Bivitri menilai kesalahan-kesalahan tersebut secara hukum harus membuat Mahkamah Konstitusi untuk menggugurkan UU Cipta Kerja tersebut. Menurut dia, karena ditemukannya sebuah kesalahan pasal membuat UU sapu jagat itu cacat hukum. Cacat formil. Sehingga tidak bisa dilaksanakan. Pun tidak bisa dilakukan revisi oleh pemerintah maupun oleh DPR RI.
Cacat formil yang dikandung UU Cipta Kerja tersebut, sesungguhnya tidak hanya ditemukannya kesalahan atau kejanggalan pada Pasal 6 dan Pasal 175 Poin 6 saja. Namun, sudah terjadi sejak disahkan DPR RI. Kendati telah disahkan pada 5 Oktober, UU itu kerap mengalami perubahan jumlah halaman hingga substansi.
Pada saat disahkan, UU itu berjumlah 905 halaman. Lalu berubah jadi 812 halaman dan 1.187 halaman saat telah sampai di pihak Istana. Pun UU setebal 1.187 halaman yang berjubel kesalahan dan kejanggalan itu telah diteken Jokowi. Pun naskahnya telah diunggah di situs resmi Sekretariat Negara pada Senin (2/11/2020), dengan nama Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Fakta hukum itu membuktikan, bahwa dalam UU yang sudah disahkan DPR RI itu telah terjadi perubahan, yang aturannya tidak boleh terjadi. Jika terjadi, maka UU tersebut terkategori cacat formil. Dengan status cacat formil itu, maka Mahkamah Konstitusi (MK) secara hukum diwajibkan untuk membatalkan keseluruhannya.
Omnibus Law UU Ciptaker sejak mula pembahasan hingga disepakati dalam rapat paripurna DPR, lalu diteken Jokowi, selalu menuai resistensi besar dari kalangan rakyat. Gelombang aksi pun terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Umumnya digerakkan massa buruh, mahasiswa, hingga koalisi sipil.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengaku, sudah memprediksi sejak awal jika Jokowi akan meneken UU Cipta Kerja tersebut. Sebab, UU itu merupakan salah satu janji Jokowi yang diutarakan dalam pidato kenegaraan pertamanya, setelah dilantik menjadi Presiden RI periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
Kendati demikian, Ujang menilai keberadaan UU Ciptaker yang telah diteken Jokowi itu berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap mantan pengusaha furniture itu. Hal tersebut, sambungnya, tak lepas dari resistensi atas UU Ciptaker hingga kondisi negara Indonesia saat ini.
“Meskipun UU itu otomatis akan berlaku, kalau diteken banyak ruginya. Yang jelas, tingkat ketidakpercayaan publik terhadap Presiden Jokowi akan makin dalam,” katanya. (rim/bersambung)